Percaya atau tidak keberadaan alam jin di bumi ini tidak bisa kita pungkiri. Keberadaan alam Jin bukanlah tahayul atau dongeng. Dalam Al Qur’an Allah menjelaskan tentang keberadaan Alam Jin ini didalam surat Jin yang menceritakan kondisi dan keberadaan Jin di dunia ini.
Bangsi Jin dan manusia sama sama berdiam dibumi sehingga tidak bisa dihindari kadang kala terjadi interaksi antara alam Jin dan manusia . Adakalanya Jin masuk dan berulah dialam manusia , demikian pula sebaliknya adapula Manusia yang masuk dan terperangkap dialam Jin.
Dalam surat Al A’raaf ayat 27 Allah mengingatkan agar kita jangan mudah tertipu dan terpedaya oleh Syetan dari golongan Jin karena dia bisa melihat kita dari tempat yang kita tidak bisa melihatnya. Jika kita berada pada suatu tempat yang dianggap angker, atau jika kita merasakan ada gangguan dari syetan atau Jin dimanapun kita berada berlindunglah pada Allah dari kejahatan mahluk tersebut. Bacalah doa sebagaimana yang diajarkan Allah dalam surat Al Mukminun ayat 97-98 :
97. Dan katakanlah: “Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan. 98. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku.”
Dalam surat An Nahl ayat 99 dan 100 Allah menjelaskan bahwa syetan tidak punya kekuatan dan kekuasaan terhadap orang yang beriman dan bertawakkal padaNya. Syetan hanya punya kekuatan terhadap orang yang mengambilnya sebagai pemimpin dan menjadikannya sebagai sekutu Allah. Syetan hanya mampu mempedaya dan menguasai orang yang lemah imannya dan merasa takut pada syetan.
Kadang kala syetan dari golongan Jin masuk kealam manusia dan terlihat seperti penampakan yang menakutkan. Ada juga yang menyamar dalam bentuk seseorang seperti Syetan yang menyamar menyerupai Surakah di zaman Nabi Muhammad. Ditempat tertentu penampakan syetan atau Jin ini sering menimbulkan kecelakaan , karena supir yang mengendarai kendaraan tiba tiba melihat orang menyeberang didepan kendaraannya, ia banting stir hingga kendaraannya masuk jurang atau menghantam pohon.
Demikian pula sebaliknya ada diantara manusia yang tersesat dan terperangkap dialam jin yang tidak terlihat oleh mata. Tanpa disadari mereka dibawa dan terperangkap dialam Jin sampai beberapa lama. Diantaranya ada yang bisa keluar dan kembali dengan selamat , namun ada pula yang kembali dalam keadaan lupa ingatan dan menjadi tidak waras. Berikut ini kami sampaikan beberapa kisah pengalaman orang yang terperangkap dialam Jin yang kami kutip dari beberapa sumber sebagai berikut.
1. MENJADI DUKUN SETELAH 11 TAHUN TINGGAL DI KERAJAAN BUNIAN
Sebuah kisah nyata yang sangat fantasis. Sebelas tahun lamanya dia tinggal di kerajaan Bunian dan membina kehidupan rumah tangga di sana. Saat memutuskan kembali pulang ke dunia nyata, dia pun menjelma menjadi seorang dukun yang andal…
Nek Juhai adalah seorang dukun kampung yang sangat terkenal kemampuan ilmunya. Penyakit atau hal apa saja yang disebabkan oleh gangguan non medis, Insya Allah bisa sembuh berkat tangan dingin perempuan yang telah uzur ini.
Kabarnya, ilmu perdukunan diperoleh Nek Juhai dari saudara suaminya yang berasal dari kerajaan Bunian. Memang, semasa muda dia telah menikah dengan bangsa bunian. Dari pernikahannya dengan orang Bunian ini, Nek Juhai memperoleh empat orang anak, dua laki-laki dan dua orang perempuan. Semua anaknya tinggal bersama mertuanya di kerajaan Bunian. Tidak seorangpun anaknya mau tinggal bersamanya. Meski demikian, pada waktu-waktu tertentu, anak cucunya berkumpul di rumahnya. Kedatangan mereka itu tidak dapat dilihat orang biasa, kecuali oleh mereka yang memiliki kemampuan indera ke enam.
Dua bulan sebelum Nek Juhai meninggal dunia, persisnya di akhir tahun 2007 silam, beliau telah mengobati penyakit salah seorang Bibi Penulis. Penyakit yang diderita sang Bibi sudah diobati melalui medis, tapi tidak juga sembuh. Bahkan, beberapa orang dukun atau paranormal yang mengobatinya, juga tidak berhasil.
Suatu hari, ada orang yang mengatakan pada Bibi, bahwa ada seorang dukun yang dapat menyembuhkan penyakit apa saja, termasuk penyakit yang diderita Bibiku. Orang itu memberikan alamatnya. Karena Bibi ingin sembuh dari penyakit yang sudah hampir selama tujuh itu, maka Bibi meminta Penulis untuk menemaninya pergi berobat ke rumah Nek Juhai. Maka berangkatlah Penulis bersama Bibi ke rumah sang nenek. Tidak sulit untuk menemukan alamatnya. Semua orang di Kecamatan Babalan, Kabupaten Langkat, Sumut, pasti mengenalnya.
Nek Juhai tinggal di rumah yang cukup sederhana dan masih sangat asri lingkungannya. Saat itu, Nek Juhai menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Beberapa orang pasiennya terlihat antri menunggu giliran untuk diobati penyakitnya. Umumnya yang berobat padanya pasien yang tidak dapat disembuhkan melalui pengobatan medis di rumah sakit. Seperti penyakit yang diderita Bibiku, yang memang diduga kuat termasuk penyakit non medis. Hasil tes darah di laboratorium menunjukkan Bibi tidak menderita penyakit. Fungsi darah, lever, ginjal, paru-paru dan jantungnya normal. Anehnya, setiap pukul 12 siang dan pukul 24 malam, rasa sakit menyerang hampir di seluruh bagian tubuhnya.
Bila malam, sebelum penyakit itu datang, Bibi mendengar suara lolongan anjing di kejauhan. Suaranya sayup-sayup, hingga sang anjing itu berada di samping rumah. Gonggongannya membuat bibi meraung-raung ketakutan. Perut bibi seketika terasa seperti ditusuk ribuan jarum, dan kepalanya seperti dipalu.
Yang tak kalah aneh, hanya bibi seorang yang mendengar suara lolongan anjing itu, sedangkan orang lain yang berada di sekitarnya tidak mendengarnya.
“Kau diguna-gunai orang, Nak?” Kata Nek Juhai setelah memeriksa keadaan Bibi. “Siapa yang melakukannya, Nek?” Tanya Bibi. Nek Juhai menggelengkan wajahnya. Kabarnya, dia memang tidak pernah mau menyebutkan orang yang melakukan serangan ilmu gaib. “Tak penting kau ketahui siapa orangnya. Yang penting adalah kau bisa sembuh!” Katanya, setengah berbisik.
Nek Juhai kemudian menyiapkan mangkok kaca berisi air putih, bunga rampai dan jeruk purut. Setelah membaca mantera, jeruk purut dia belah menjadi dua bagian sama besar. Salah satu belahan jeruk dia letakkan di telinga kanannya. Aneh, potongan jeruk ini sepertinya dia pergunakan persis tak ubahnya seperti HP. Rupanya, dia berkomunikasi dengan keluarga suaminya yang berada di alam bunian. Misteri hanya mendengar kata-kata yang diucapkan Nek Juhai saja.
Sesaat setelah selesai berhubungan dengan alam gaib, tiba-tiba ada benda berbentuk bundelan di bungkus kain putih jatuh ke dalam mangkok. Sejenak Penulis terperangah melihatnya. Jelas sekali, bundelan kain itu jatuh dari atas, padahal rumah Nek Juhai atapnya terbuat dari seng dan tidak ada orang yang menjatuhkannya.
Perlahan, Nek Juhai membuka bundelan itu dengan sangat berhati-hati. Setelah terbuka, isinya boneka terbuat dari kayu. Seluruh tubuh boneka ditusuk dengan puluhan jarum dari kepala hingga kaki. “Boneka ini diumpamakan seperti tubuhmu, Nak!” Kata Nek Juhai menjelaskan. “Pantaslah jika penyakit Bibi kambuh perut dan kepalanya seperti ditusuk seribu jarum,” gumam Penulis dalam hati. Nek Juhai lalu membungkus boneka kayu itu dan membakarnya hingga hangus. “Sebaiknya kau menginap beberapa malam di rumah Nenek. Ada pengobatan lanjutan yang harus kau jalani. Besok pagi sebelum berkumandang suara adzan Subuh, kau harus mandi air bunga rampai,” tutur Nek Juhai. Tentu saja Bibi dan Penulis menyetujuinya.
Malam itu, sengaja Penulis mencari kesempatan untuk berbincang-bincang dengan Nek Juhai. Untunglah, dia punya waktu untuk bercerita karena setelah pukul 8 malam, dia memang tidak lagi menerima pasien.
“Kata orang-orang, Nenek bersuamikan orang bunian. Bagaimana ceritanya Nenek bisa bersuamikan orang bunian?” Tanya Penulis. Mendengar pertanyaan ini, Nek Juhai hanya tersenyum. “Kau mau mengetahui kisah Nenek bersuamikan orang bunian?” Nek Juhai malah balik bertanya.
Penulis tersenyum. “Ya, itulah yang saya dengar dari banyak orang. Saya harap Nenek sudi menceritakannya pada saya,” ujar Penulis.
Nek Juhai menarik nafas berat. Sorot matanya yang teduh itu berubah kosong, seperti menerawang jauh. Lalu, pelan-pelan dia bertutur. Beginilah ringkasan kisahnya…:
Saat aku baru berusia 5 tahun, ayahku meninggal dunia. Setelah ayah meninggal, Ibu memutuskan tetap menjadi janda. Untuk menghidupiku, Ibu bekerja mengambil upahan merumput di sawah tetangga.
Memang, setelah kepergian Ayah, hidupku semakin miskin dan penuh dengan penderitaan. Sehari kadang makan hanya sekali. Paman dan bibiku juga hidupnya miskin. Untuk menghidupi keluarganya saja sulit, apalagi untuk membantu aku dan Ibuku. Setelah lama mengidap penyakit asma, Ibuku akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Perasaan hatiku sangat sedih, bahkan sampai ada niat untuk bunuh diri. Tapi untunglah hal itu tidak aku lakukan. Selama berhari-hari aku larut dalam kesedihan. Kepergian Ibu rasanya begitu cepat, Kepada siapa lagi aku harus menggantungkan hidupku?
Suatu hari di suatu pagi, saat hujan gerimis, aku pergi berziarah ke kuburan Ibu. Lama aku duduk termenung di tengah hujan gerimis. Waktu itu, tiba-tiba terdengar suara seorang Ibu menegurku. “Sudahlah, jangan lagi bersedih. Jika Ibumu tahu kau seperti ini, dia pasti sangat bersedih juga di alam sana!” Kata ibu-ibu itu. Mendengar ada suara, maka aku sangat terkejut dibuatnya.
“Ibu siapa, mengapa Ibu tiba-tiba ada di sini?” Tanyaku merasa heran. Maklum saja, selama ini aku belum pernah melihat sosok perempuan paruh baya ini. Aku begitu terkesima melihat kecantikan wajahnya. Di desaku sepertinya tidak ada perempuan secantik dia. “Nama Ibu Habibah,” sahutnya dengan ramah. Dia lalu tersenyum sambil memandang wajahku.
Sorot matanya tajam menyejukan perasaan hatiku. Dari busana yang dipakainya Ibu Habibah, jelas isteri orang kaya. Ini terlihat dari perhiasan emas yang menghiasi leher dan pergelangan tangannya, serta cincin dijari manisnya. Aku kian terkagum-kagum melihatnya. “Semua yang hidup akan merasakan mati. Beberapa hari lalu Ibumu meninggal dunia, suatu saat kita juga akan mengalami peristiwa yang sama. Kau harus tabah dan ikhlas menerimanya,” kata Ibu Habibah menasehatiku. “Tapi sekarang aku udah tidak punya siapa-siapa lagi. Hidupku sebatang kara di dunia ini. Rasanya lebih baik aku mati saja,” jawabku berkeluh kesah. Air mataku seketika kembali deras mengalir. “Siapa bilang kau tidak punya siapa-siapa. Jika kau mau kau bisa tinggal bersama Ibu!” Katanya sambil mengusap rambutku. Hangat kurasakan menjalar ke sekujur tubuhku. Mendengar Ibu Habibah berkata demikian, aku merasa tidak percaya. Apakah aku sedang bermimpi? “Benarkah Ibu mau memberiku tumpangan hidup?” Tanyaku sambil menyusut air mata. Ibu Habibah tersenyum menyejukan. “Percayalah, Ibu pasti akan menganggapmu seperti anak Ibu sendiri. Mari ikut Ibu!” Ajaknya. Dia lalu menuntunku keluar dari areal kuburan.
Di depan tanah pemakaman sudah menunggu mobil sedan mewah. Bagai terhipnotis, aku mengikuti saja ajakan Ibu Habibah, yang menyetir sendiri mobil sedannya.
Sekitar seperempat jam mobil yang dikemudikan Ibu Habibah meninggalkan desaku, ada keanehan yang kurasakan. Semula di kiri kanan jalan aku hanya melihat hamparan persawahan dan rumah-rumah gedek dan semi permanen milik penduduk. Tapi pemandangan yang kulihat kemudian bertukar menjadi perumahan mewah dan jalan beraspal yang sangat licin. Mobil-mobil mewah hilir mudik di jalan raya. Penduduk yang tinggal di sepanjang jalan sepertinya semua keluarga kaya. Mereka tinggal di perumahan elite lengkap dengan fasilitas kemegahannya. Ada kolam renang dan halaman yang asri.
“Bu, kita sekarang berada di mana?” Tanyaku terheran-heran. Maklum saja, selama ini aku memang tidak pernah melihat rumah-rumah mewah seperti yang ada di depan mataku. “Juhai, ketahuilah, kau kini berada di alam gaib. Bangsamu menyebut kami orang bunian,” kata Ibu Habibah menjelaskan.
Mendengar penjelasan Ibu Habibah, jantungku berdebar-debar ketakutan.
“Juhai, jangan cemas dan merasa takut. Ibu akan melindungimu dan menjaga keselamatanmu. Ibu beragama Islam dan sudah berulangkali pergi menunaikan ibadah Haji ke tanah suci Mekkah. Kita ini sesungguhnya bersaudara dan persaudaraan sesama muslim itu digambarkan oleh baginda Rasulullah SAW seperti bangunan tubuh kita. Jika ada salah satu anggota tubuh kita sakit, maka anggota tubuh yang lain juga ikut merasakannya,” jawab Ibu Habibah dengan tutur kata lemah lembut. Dia seolah-olah dapat membaca kegelisahan hatiku.
Mendengar Ibu Habibah berkata begitu, perasaan hatiku menjadi tenang kembali.
Mobil pun terus bergerak di atas jalan yang amat licin. Tak berapa lama kemudian, mobil berbelok ke sebuah rumah paling mewah di antara perumahan yang berada di sekitarnya. “Apakah ini rumah Ibu Habibah?” Bisik hatiku, heran dan kagum. Halaman rumah itu sangat luas dan tertata rapih dengan bunga-bunga yang indah. Ada juga kolam renang yang berair sangat jernih. Menurut hematku, rumah dinas gubernur saja yang pernah kulihat tidak sebagus dan semewah rumah Ibu Habibah. “Kita sudah sampai. Ini rumah Ibu!” Kata ibu Habibah. Aku bengong seperti seekor rusa masuk kampung. Ibu Habibah lalu mengajakku turun dan menuntunku masuk ke beranda rumah. Di depan pintu, seorang pemuda menyambut kedatangan kami. “Ibu membawa siapa?” Tanya pemuda itu yang sepertinya adalah putera Ibu Habibah. Wajahnya sangat tampan. Di kampungku pasti tidak ada remaja setampan dia.
“Dia bernama Juhai. Ibu temukan dia menangis di pusara kedua orangtuanya,” jawabnya. Lalu sambil melirik ke arahku, Ibu Habibah menyambung, “Juhai, ini anak Ibu. Namanya Haikal!” Aku dan Haikal kemudian saling berjabat tangan. Ketika itu muncul juga seorang anak berusia 10 yang kemudian kuketahui bernama Haidar. Dia adiknya Haikal.
Saat masuk ke dalam rumah, kulihat ruang tamu rumah Ibu Habibah sungguh megah. Semua perabotan rumahtangga di ruangan itu terbuat dari kayu pilihan dan berukir indah. Aku terkagum-kagum melihatnya. Ibu Habibah lalu mengajakku ke kamar yang diperuntukkan buatku. Interior dalam kamar ini tak ubahnya seperti kamar tidur puteri raja. Ranjangnya terbuat dari kayu jati dan dilapisi emas, meja rias berukir sangat indah dan bingkai kacanya dilapisi emas. Dalam kamar tidur ini terdapat juga toilet yang harum dan bersih.
Aku juga diperlihatkan baju yang disimpan dalam lemari, yang sepertinya juga telah dipersiapkan buatku. Aku terbelalak melihat baju-baju yang semuanya baru dan terbuat dari sutera itu.
Setelah aku berganti pakaian dan tak lagi terlihat seperti gadis kampung, namun telah menjelma bak seorang puteri, aku diminta menghadap di ruang keluarga. Di ruang ini Ibu Habibah duduk bersama seluruh anggota keluarganya. Disebelahnya duduk Pak Abu Bakar, suaminya. “Ibu sudah bercerita pada Bapak tentang dirimu. Bapak sangat terharu mendengarnya. Tinggallah bersama kami di sini beberapa waktu yang kau kehendaki. Kami akan mengajarimu ilmu pengobatan berbagai penyakit. Di istana ada beberapa orang tabib. Nanti Bapak akan meminta mereka mengajarimu ilmu pengobatan berbagai penyakit.
Ilmu pengobatan itu penting bagimu sebagai bekal hidupmu di duniamu nanti, jika kau memutuskan untuk tinggal di sana.” Papar Ibu Habibah.
“Bapak mohon tinggallah bersama kami beberapa tahun di sini. Bapak dan Ibu telah sepakat mengangkatmu sebagai anak angkat kami. Kami berdua akan menyayangimu seperti menyayangi anak kandung kami sendiri. Kebetulan kami memang tidak dikarunai anak perempuan. Besok kami akan mengadakan acara pengangkatanmu sebagai anak angkat kami agar warga di sini mengetahuinya,” tambah Pak Abu Bakar suami ibu Habibah.
Pak Abu Bakar ini ternyata salah seorang menteri di kerajaan Bunian. Setiap hari, dia keluar masuk istana raja. Ibu Habibah juga masih kerabat raja. Ketika aku dinobatkan sebagai anak angkat, semua pembesar istana datang menghadirinya, termasuk juga rakyat jelata. Yang sangat membanggakan perasaanku, raja dan permaisurinya turut datang memberikan ucapan selamat.
Pak Abu Bakar mengadakan pesta rakyat, berlangsung selama tiga hari tiga malam. Aku benar-benar merasa menjadi puteri di negeri kayangan. Aku dikenalkan pada keluarga besar Pak Abu Bakar dan Ibu Habibah. Mereka semuanya baik-baik dan sangat ramah.
Begitulah! Hari-hari kulalui dengan tinggal di dunia orang Bunian. Kehidupan disana seperti kehidupan kita di dunia ini. Hanya, di dunia orang Bunian, matahari selalu bersinar cerah, dan udara dingin sepanjang siang dan malam. Disana tidak ada polusi udara, karena pepohonan tumbur subur. Lingkungan hidup tertata rapi. Tinggal bersama keluarga Pak Abu Bakar, selain bermain, menikmati masa remaja bersama Haikal dan gadis-gadis sebayaku, pagi hari aku juga belajar ilmu pengobatan dari tabib istana yang datang ke rumah.
Di sana juga terdapat tempat rekreasi yang berada di luar kota. Aku bersama Haikal sering mengunjungi tempat rekreasi tersebut, hingga akhirnya tumbuh benih cinta di hati kami berdua. Rupanya, Pak Abu Bakar dan Ibu Habibah mengetahui hal ini. Sampai suatu malam, aku dan Haikal dipanggil untuk menghadap mereka. Duduk di hadapan Ibu Habibah dan Pak Abu Bakar, aku menundukkan wajah sebagai orang yang bersalah. Denyut jantungku berdebar-debar tidak beraturan.
“Haikal, Ayah ingin bertanya kepadamu. Mohon dijawab dengan jujur. Apakah kau mencintai Juhai?” Tanya Pak Abu Bakar tiba-tiba.
“Benar, Ayah! Haikal sangat mencintainya,” jawab Haikal.
“Bagaimana denganmu Juhai? Apakah kau mencintai Haikal?” Tanya Ibu Habibah. Aku hanya mengangguk malu-malu. “Karena kalian sudah saling mencintai, Ayah dan Ibu akan menikahkan kalian besok pagi,” kata Pak Abu Bakar memutuskan. Aku terkejut mendengar keputusan Pak Abu Bakar. “Mengapa pernikahan itu dilangsungkan mendadak?” Bisik hatiku.
Pernikahan itu benar-benar terjadi. Saat aku membuka jendela kamar, di halaman rumah sudah siap perlengkapan pesta. Bahkan, kamar tidurku sudah dihias seperti laiknya kamar pengantin. “Kapan mereka melakukannya?” Bisik hatiku terheran-heran.
Singkat cerita, akad nikah telah siap. Saat itu aku teringat pada almarhum Ayah dan Ibu. Aku menangis terharu dan bahagia, lalu memeluk Ibu Habibah yang sebentar lagi akan menjadi mertuaku. Resepsi pernikahan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Raja dan permaisuri kerajaan Bunian datang bersama semua pembesar istana. Mereka mengucapkan selamat berbahagia dan mendoakan agar perkawinan kami langgeng. Rakyat di kerajaan Bunian larut dalam kegembiraan menikmati makanan dan hiburan selama tujuh hari tujuh malam.
Demikianlah kisah yang kujalani di negeri Bunian. Setelah sepuluh tahun membina rumah tangga, aku dikarunai dua orang putera dan dua orang puteri. Hingga, suatu malam, nenek bermimpi bertemu dengan almarhum ayah dan ibu. Dalam mimpi ini mereka menangis karena kuburnya tidak pernah aku ziarahi. Aku sampai menangis dan berjanji pada mereka akan datang berziarah.
“Juhai, kau mimpi apa?” Tanya Mas Haikal. Kuceritakan mimpi yang barusan kualami. “Besok kita pergi berziarah. Bawa anak-anak,” kata suamiku. Mendengar suami berkata begitu, aku merasa bahagia.
Ketika kami berziarah di kuburan kedua orangtua, ternyata ada beberapa warga melihat kehadiranku. Mereka tidak percaya. Tapi setelah kuyakinkan, mereka baru percaya bahwa aku adalah Juhai. Rupanya, aku telah menghilang selama 11 tahun lebih.
Berita kepulanganku setelah 11 tahun menghilang dari desa, menghebohkan warga. Bibiku, anak-anak keponakanku, semua menangis dan menyambutku dengan penuh haru. Mereka sampai mengadakan kenduri selamatan dan meminta agar aku tinggal di desa. Berat rasanya untuk menolak permintaan mereka, juga berat meninggalkan suami dan anak-anak yang tinggal di alam berbeda. “Keluargamu memintamu agar kau tinggal bersama mereka. Sebaiknya kau penuhi keinginan mereka,” kata suamiku menjelang tidur di dalam kamar rumah Bibi. Tentu saja tak ada seorang pun yang bisa melihat kehadiran suami dan anak-anakku kecuali aku sendiri.
“Bagaimana dengan dirimu dan anak-anak kita?” Tanyaku. “Anak-anak biarlah tinggal bersama neneknya. Karena kehidupan mereka ada di sana bukan disini. Sedangkan aku bisa setiap saat berada di sisimu, dan kau bisa datang menjenguk anak-anak kita setiap saat,” jawab suamiku. Tapi aku tidak dapat mengambil keputusan saat itu. Kepada keluarga di desa, aku bilang akan bermusyawarah dahulu dengan suami dan mertua. Semoga mereka mengizinkanku tinggal di desa kelahiranku.
Syukur Alhamdulillah, 11 tahun setelah aku pergi meninggalkan desa, kehidupan ekonomi Paman dan Bibi membaik. Mereka sudah bisa membangun rumah gedung. Keponakanku juga bisa sekolah sampai meraih gelar sarjana. Tak hanya itu, jalan-jalan dikampungku juga sudah dibangun aspal. Bahkan, Paman juga berjanji akan membuatkan rumah buatku di tanah pusaka peninggalan almarhum ayahku jika memang aku tinggal menetap di desa\.
Ketika kuutarakan niat kembali ke desa kelahiranku, Ayah dan Ibu mertuaku merestuinya. “Jika itu sudah menjadi keputusanmu dan suami merestuinya, kami tidak bisa bilang apa-apa kecuali mendukung rencanamu. Di desamu kau bisa mengobati berbagai penyakit yang diderita warga disana,” kata Ayah mertuaku. “Terima kasih, Pak!” Jawabku sambil sujud di kakinya.
Setelah berpamitan, aku diantar mobil sedan yang dikemudikan suamiku. Ya, aku memilih pulang ke kampung halamanku yang pernah aku tinggalkan belasan tahun lamanya.
2. TERJEBAK DIDUNIA LAIN KETIKA BEKERJA DI HUTAN
Bagaimana bisa seorang yang menyetubuhi jin lalu memiliki keturunan? Kisah berikut merupakan kesaksian dari salah seorang yang pernah bekerja di sebuah perusahaan penebangan kayu. Saat bertugas dia terjebak ke dunia lain milik para jin….
Adelin Lis, Direktur Keuangan PT Keang Nam Deveploment Indonesia (KNDI), adalah salah seorang sosok yang kontroversial dalam kacamata hokum pidana. Setelah Jaksa menuntutnya sepuluh tahun kurungan, ternyata dibebaskan tanpa syarat oleh Majelis Hakim Pengadilan Negara Medan. Ini suatu perkara yang dianggap sangat menyakitkan nurani keadilan, mengingat kasus korupsi Adelin Lis dengan nilai yang sangat besar. Tulisan berikut ini memang bukanlah kisah tentang Adelin Lis. Tetapi aku pernah bekerja di perusahaan miliknya. Hampir tiga tahun aku menjadi karyawan pada PT KNDI, yakni sebuah perusahaan pengolahan kayu berskala besar yang cukup bonafid di daerah Mandailing Natal (Madina), Sumut.Kalau Adelin Lis, orang yang misterius dalam bidang penegakan hukum, sementara aku sendiri mengalami kejadian misterius ketika bekerja di perusahaan tersebut.
Pertama kali masuk kerja, aku ditempatkan diunit Tely, yakni melakukan tugas mencatat dan mengadakan kelompok-kelompok kayu yang sudah diolah menjadi bahan bangunan ke dalam masing-masing jenis dan tipe serta ukuran yang sama. Jumlah karyawan kurang lebih 500 orang. Mereka punya tugas di bidang masing-masing. Meskipun demikian, di antara mereka ada yang punya tugas rangkap. Dan aku sendiri sering ditugaskan rangkap pula terutama kalau ada karyawan yang berhalangan karena sakit. Tugas yang kurasa cukup berat dan punya resiko tinggi adalah kalau diperintahkan mengadakan survey di lapangan guna meneliti pohon-pohon kayu di areal hutan yang sesuai dengan HPH dari Menteri Kehutanan. Menandai pohon yang akan ditebang di tengah hutan belantara yang masih perawan.
Hari itu, dengan ditemani oleh rekan seprofesi yang akrab kupanggil Bang Ucok Regar, aku ditugaskan melakukan penelitian ke sebuah areal hutan. Tanpa bisa menolak, Bang Ucok berangkat duluan ke sana. Aku sendiri janji akan menyusul sejam kemudian. Soalnya, masih ada urusan yang akan kukerjakan di lokasi pabrik. Setelah urusan tersebut selesai, dengan mengendarai sepeda motor perusahaan, aku segera menyusul rekanku itu. Lokasi hutan yang akan kutuju sekitar 75 km dari pabrik. Tepatnya berbatasan dengan sebuah desa bernama Umang-Umang. Desa itu pernah kukunjungi dengan tugas yang sama. Jalan kesana merupakan jalan darurat yang dirintis oleh pihak perusahaan. Dari desa terpencil tersebut, kayu tebangan diangkut menggunakan truk khusus atau lengging.
Hari itu, cuaca cerah dan cukup panas. Dengan kecepatan sedang, kupacu sepeda motor menyusul Bang Ucok. Mendekati sebuah tikungan, tiba-tiba mesin mati dan sepeda motor berhenti tepat di bawah sebatang pohon yang berdaun rindang. Segera kuperiksa apa penyebabnya. Hampir setengah jam aku mengutak-atik mesin, namun tidak kutemukan juga. Mesin sepeda motor tetap saja tak mau dihidupkan. “Dasar sepeda motor sialan!” Makiku dalam hati sambil kemudian duduk istirahat di bawah pohon rindang itu.
Aku mulai berpikir untuk mengadakan kontak dengan pihak manajemen atasanku, ketika dihadapanku melintas seorang pria tua mengenakan pakaian agak aneh. Tampangnya terlihat sangat kumuh seperti gelandangan.
“Cucu mau kemana?” Sapanya sambil berhenti melangkah. Dia menatapku.
“Ke desa Umang-Umang, Kek!” Sahutku sambil bangkit berdiri.
“Lalu kenapa berhenti di sini?” “Mesin motorku ngadat, Kek!” Jawabku sambil mendekati sepeda motor. “Apanya yang rusak?” Si kakek datang mendekat. Dia bahkan turut jongkok di dekatku. “Entah apa yang membuatnya mogok. Saya sudah menelitinya, tapi saya tidak bisa menemukan kerusakan mesin motor ini.”
“Coba kulihat!” Si kakek bergeser ke depan sambil menyentuh busi dengan ujung telunjuk jarinya. Sekejap aku terkejut, sebab ujung jari si kaki yang ringkih itu seperti memancarkan sinar kebiru-biruan. Anehnya, dalam hitungan detik, mesin hidup tanpa distater sama sekali. Belum habis rasa heranku, terdengar si Kakek berkata, “Kalau cucu ingin ke desa Umang-Umang, kakek ingin menumpang. Apakah boleh, Cu?” “Tentu saja aku tak keberatan, apalagi Kakek telah membantu menghidupkan mesin sepeda motorku,” jawabku sambil berusaha menekan perasaan heran dan aneh di dalam dadaku. Ringkas cerita, pria tua itu kusilhakan duduk di jok belakang. Mungkin karena tubuhnya yang kurus, maka sepertinya aku tidak merasa membawa beban di boncengan belakang. Begitu lewat tikungan di depan, di sebelah kiri jalan nampak pohon yang lumayan tinggi dan akar-akarnya ada yang menyembul kepermukaan, bahkan melingkar-;ingkar merangkul batang pohon itu sendiri. Begitu melintas di depan pohon ini, tiba-tiba mesin sepeda motor mati lagi. Anehnya, sepeda motor membelok sendiri menuju ke arah pohon tanpa dapat kukendalikan. Tubuhku terdorong ke depan lalu membentur pohon raksasa tersebut. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi.
Apa yang terjadi kemudian? Setelah siuman, sepertinya aku sedang berada di sebuah kawasan perkotaan dan tubuhku terbaring di tempat tidur dalam ruangan yang lumayan besar digedung yang megah dan indah. Waktu itu, laiknya aku sedang bermimpi. Tapi kali ini bukan mimpi, karena ketika kucubit terasa sakit di kulitku. “Aneh, di mana aku sekarang? Mengapa aku bisa berada di tempat ini?” Tanyaku dalam hati. Mendadak aku ingin bangkit dari tidur. Namun, pada saat bersamaan, aura mistis mulai kurasakan. Hal inilah menyebabkan bulu kuduk meremang, sebagai isyarat bahwa aku saat itu berada dan terjebak di dunia lain. Mungkin dihuni oleh makhluk gaib yang sulit ditebak.
Aku masih dalam kondisi kebingungan ketika muncul di hadapanku sesosok makhluk berwujud manusia. Dia mengenakan pakaian mirip serdadu kerajaan tempo dulu dan ditangan kanannya memegang sebatang tombak yang ujungnya bercabang tiga. Dengan menggunakan bahasa isyarat, laki-laki berwajah sangar dan menakutkan ini, meminta agar aku segera mengikutinya.
Aku tak bisa membantah ajakannya, sebab kesadaranku memang sepertinya kembali terhipnotis. Akhirnya, aku berjalan beriringan dengan lelaki penjemputku. Dia membawaku masuk ke ruangan lain yang bersebelahan dengan ruang tempatku terbaring tadi. Ruangan ini lebih megah dan lebih menakjubkan lagi. Perabotannya serba antic, seperti koleksi berabad-abad yang lalu. Kursi-kursinya penuh ukiran klasik, berpasangan dengan meja batu giok beralaskan lantai marmer mengkilat, berwarna-warni. Di sepanjang ruangan, tergantung aneka lampu kristal yang memancarkan sinar beragam aneka warna. Bersamaan dengan itu, aroma wewangian sering hinggap di hidungku. Harum sekali.
Aku masih tertegun dan terpana, berdiri mematung, ketika ruangan yang super megah tersebut dipenuhi oleh perempuan ayu dan cantik. Perangai dan perilakunya sangat kontras dengan fenomena keindahan serta kesakralan suasana di sana. Pakaian mereka sangat merangsang, nyaris telanjang. Binal dan genit ketika berpelukan dengan teman laki-lakinya.
Keberadaanku di tempat itu seperti tidak diketahui mereka. Bahkan, laki-laki seradu yang tadi menjemputku tidak kulihat batang hidungnya. Dan aku hanya melongo saja berdiri mematung. Menyaksikan seks bebas yang berlangsung di hadapan mata. Persis seperti nonton film blue. Belum habis rasa heran dan bingungku, di hadapanku telah berdiri seorang perempuan agak tua, bertubuh gendut dengan rias wajah yang sangat mencolok. Di sebelahnya turut pula berdiri seorang perempuan muda yang cantik dan ayu.
Cukup lama perempuan gendut ini menatap wajahku. Seperti ingin menaksir wajah dan penampilanku saja. Dengan bahasa isyarat, dia ingin tahu siapa namaku. Lalu aku jawab pula dengan bahasa isyarat.
Entah mengerti atau tidak, dia kemudian bertanya, “Anak muda, mengapa kau sampai berada di tempat hunian kami ini?” Laiknya orang tunarungu, aku menjelaskan dengan bahsa isyarat bahwa aku tak sengaja berada di tempat mereka. Alasannya, karena sepeda motorku menabrak sebatang pohon di pinggir jalan. Dan kuungkapkan juga, bahwa sepeda motorku mogok. Lalu dibantu oleh seorang kakek, dan bersama pria tua itu menuju desa Umang-Umang. Nampaknya si nenek paham, dan mengatakan, pria tua itu adalah ayahnya yang ingin mencari suami untuk cucuknya. Dan dia menunjuk perempuan di sebelahnya sebagai cucu si kakek.
Komunikasi menggunakan bahasa isyarat berlangsung dengan lancar tanpa menemui kendala yang berarti. Aneh, memang! Saat itu, aku juga sempat memastikan bahwa mereka berasal dari komunitas makhluk dari dunia lain, yang tidak bisa bicara. Kalaupun mereka berbicara, maka aku tidak akan mengerti dan memahaminya. Ketika perempuan gendut mengisyaratkan bahwa pria tua yang menolongku menghidupkan mesin motorku itu adalah kakeknya, maka aku mulai curiga. Entah apa yang akan mereka lakukan terhadao diriku.
“Apakah kau bersedia kukawinkan dengan putri tunggalku ini?” Tanya perempuan gendut itu dalam bahasa isyarat yang mendadak saja bisa kumengerti dan kupahami. Secepatnya aku memberi isyarat bahwa aku telah punya isteri. Bahkan, aku juga memberi isyarat bahwa sangat mustahil makhluk Tuhan berbeda alam untuk menyatu dalam sebuah perkawinan.
“Siapa bilang?” Tanya si perempuan gendut. Kali ini bukan lagi dengan bahasa isyarat, melainkan dengan kata-kata dalam bahasa Melayu.
Hal ini membuatku terperangah. Ternyata dia mampu berbicara dengan bahasa Melayu, dengan logat dan gaya Mandailing Klasik. Aku makin terheran-heran ketika dia mengatakan bahwa perkawinan makhluk dari kalangan jin dan manusia sudah sering terjadi sejak era kenabian tempo dulu. Dia mengambil contoh dengan peristiwa Nabi Sulaiman yang menikahi Ratu Balqis, yang dipercaya berasal dari komunitas bangsa jin. Aku bingung, karena aku tak tahu persis apakah Ratu Balgis memang berasal dari bangsa jin. Entahlah apakah perempuan gendut ini hanya mengarang-ngarang untuk meyakinkan diriku, bahwa perkainan manusia dengan jin bukan mustahil adanya.
“Kami memang dari bangsa jin yang tidak alim!” Ungkap perempuan gendut itu. “Asal kau tahu saja…kami memang selalu mengadakan perkawinan silang dengan manusia. Hal ini guna memperoleh keturunan yang lebih bermutu dan berkwalitas. Karena kami dari bangsa jin di kawasan ini ingin mensejajarkan diri dengan makhluk manusia yang kami anggap lebih tinggi derajatnya dari bangsa jin,” tambahnya menjelaskan dengan panjang lebar.
Cukup lama aku termenung dan tertegun. Aku menjadi sangat bodoh, sebab tak mampu berkomentar. Aku hanya bisa manggut-manggut, seolah-olah memahami apa yang dijelaskannya barusan. “Bagaimana? Apakah kamu bersedia membantu kami?” Perempuan itu menatapku dalam-dalam.
“Gimana ya…?” Aku masih bingung. “Soalnya, tadi telah saya katakan, bahwa saya telah berumah tangga,” kataku menjelaskan sejujurnya.
“Itu tidak bisa dijadikan dalih. Karena di bumi, manusia banyak yang punya isteri lebih dari satu!” Kata si perempuan gendut sambil nyengir sinis.
Aku terbungkam. Ternyata dia cukup banyak mengetahui tentang ulah manusia selama ini. Tapi, aku sungguh tak sudi menikah dengan makhluk halis, meski putrid si gendut itu sangatlah cantik jelita. Karena aku masih tetap menolak tawarannya, akhirnya aku diamankan di sebuah ruangan khusus dalam kondisi tertutup dan terkunci. Di dalam ruangan itu fasilitasnya sangat lengkap sekali, sehingga aku merasa berada dalam tahanan rumah. Namun, sewaktu berada kesendirian, aku mulai teringat isteriku di rumah yang kutitipkan pada ibu di Medan.
Aku masih coba membayangkan wajah Rini, isteriku, ketika pintu terbuka dan wajah perempuan cantik dan ayu yang tadi menemani perempuan gendut itu muncul sambil mengulum senyum. Gadis yang katanya cucu dari pria tua yang menolongku tersebut berjalan dengan langkah terukur bagai seorang pragawati. Dia datang menghampiriku yang sedang duduk dibibir tempat tidur. Kini dia mengenakan gaun terusan yang agak tipis tanpa BH dan celana dalam, sehingga apa yang berada dibaliknya menjadi terlihat sekali. Lekuk-lekuk tubuh yang sensual dan padat, serta bukit kembar di dadanya nampak jelas menonjol.
Sejenak ruangan kamar dengan aroma semerbak wewangian itu berubah sangat sunyi. Begitu sunyinya sehingga suara helaan nafasku yang tergetar oleh keindahan wanita di hadapnku seaakan-akan terdengar gemanya. Aku tidak ingin dikatakan munafik. Aaat itu gairah birahiku melonjak tajam. Disamping melihat ada perempuan cantik sekamar denganku, ini juga karena aku sudah cukup lama bekerja di tengah hutan belantara jauh dari godaan seks terhadap wanita cantik. Apalagi perempuan muda di hadapanku kini mulai melucuti pakaiannya, sehingga tubuhnya bugil tanpa sehelai benangpun.
Singkat cerita, saat itu aku tak mampu membendung gejolak libidoku. Dan apa yang terjadi selanjutnya, tak perlu kuceritakan secara rinci. Aku seperti anjing kelaparan yang begitu bergairah menikmati mangsanya. Bahkan, hubungan terlarang tersebut terjadi berulang kali, hingga aku pingsan alias tak sadarkan diri. Mungkin akibat kecapekan atau karena pengaruh lainnya.
Begitu siuman, aku merasa malu dalam keadaan tubuhku yang telanjang, sebab di dihadapanku ada beberapa orang pria. Mereka adalah pekerja yang melintas di tempat itu, mengangkut kayu gelondongan dengan truk. Katanya, aku ditemui dipinggir jalan di bawah pohon beringin. Ketika itu aku terkapar di sana dalam keadaan setengah sadar. Tidak jauh dari situ, mereka juga menemukan sepeda motorku dalam kondisi berantakan. Karena itulah, untuk sementara aku dinyatakan mengalami kecelakaan, menabrak pohon di pinggir jalan. Namun satu hal yang membuat mereka bingung, kenapa aku bisa terbaring dalam keadaan telanjang bulat. Rupanya, aku telah dikerjai oleh penunggu pohon beringin tua yang dipercayai sangat angker itu. Menurut cerita, kejadian serupa seperti yang kualami pernah juga dialami oleh para pekerja penebangan pohon di tempat itu. Bahkan, suatu ketika ada yang tewas meregang nyawa dalam kondisi alat vital membengkak seukuran biji kelapa.
Karena merasa trauma atas kejadian serupa, maka akhirnya aku memutuskan untuk hengkang dari perusahaan tersebut. Aku memilih kembali ke kota Medan, dan ingin mencari pekerjaan yang lebih laik. Setelah peristiwa itu, aku juga mengalami suatu keanehan. Cukup lama aku tak mampu memberi nafkah batin ke isteriku. Lebih aneh lagi, kurang sembilan bulan kemudian,. aku dan isteriku sering mendengar tangisan bayi dekat tempat tidur kami. Kami sibuk mencarinya hingga ke bawah kolong ranjang ranjang. Menduga rumah itu telah dihuni oleh setan, aku memutuskan cari kontrakan lain. Di tempat yang baru, tangisan bayi itu masih terdengar. Artinya dia terus mengikuti kemana aku pindah. Karena keanehan ini, akhirnya mempertanyakannya kepada Pak Suparlan, orang pintar di lingkungan tempat tinggalku.
“Itu darah dagingmu…!” Jawab Pak Suparlan yang menguasai ilmu gaib.
Tentu saja aku bingung dan heran. Apa mungkin persetubuhan gaibku dengan sosok perempuan jin bisa membuat kehamilan? Untuk menjaga ketenangan dalam rumah tangga, aku minta pada sang paranormal agar memberikan solusi menghilangkan suara tangisan bayi tersebut, sehingga tidak terdengar lari.
“Kalau sekedar meredam suara tangisnya mungkin bisa, tapi kalau untuk mengusirnya tidak mungkin. Karena dia adalah darah dagingmu yang akan terus membayangi langkahmu kapan dan di mana saja.” Ungkap Pak Suparlan.
Aku semakin tak mengerti. Tapi kuserahkan semua ini hanya kepada Allah SWT.
3. ALAMSYAH DIAJAK ORANG BUNIAN NAIK PESAWAT TERBANG
Ini adalah kisah mistis seorang pemuda bernama Alamsyah. Suatu ketika, dia dibawa orang Bunian mengarungi perjalanan gaib dengan naik pesawat. Perjalanan antara Medan menuju Jakarta. Bagaimana kisah mistisnya…?
Rumah itu agak terpencil dari rumah-rumah penduduk lainnya. Walaupun halamannya luas, namun pekarangannya tidak terawat. Rumput liar dan sampah daun kering memenuhi halaman itu. Pepohonan rindang seperti jambu air, jambu biji, bahkan mangga yang berbuah lebat dibiarkan tumbuh begitu saja, seolah tidak ada yang mengurusnya. Aku sempat heran bila melewati rumah tersebut yang selalu sepi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Tapi setiap melewati rumah itu, aku merasa ada sepasang mata yang selalu memperhatikan langkahku. Mulanya aku tidak memperdulikan hal tersebut. Maklumlah, sebagai warga baru di kampung itu, aku sedang dalam tahap perkenalan. Sebagai seorang penyuluh pertanian yang ditempatkan pemerintah, aku harus bisa bersosialisasi dengan penduduk kampung tempatku bertugas. Aku pun mulai hafal satu persatu nama penduduk serta rumahnya. Tak jarang, bila berpapasan dengan warga, aku yang duluan tersenyum dan mengulurkan tangan sambil memperkenalkan diri dan keluargaku. Ya, namanya tinggal di perkampungan, tentu haruslah pandai membawa diri. Lain dengan hidup di kota, karena kesibukan masing-masing, antar warga satu kompleks saja tidak saling mengenal.
Siang itu, usai menghadiri pertemuan di Balai Desa, aku berjalan melewati rumah besar yang di mataku sepertinya menyimpan keanehan itu. Tiba-tiba, dari rerimbungan pohon jambu air di pekarangan rumah itu, keluar seorang laki-laki setengah baya bertubuh kurus, rambutnya memutih dengan potongan yang tak beraturan. Baju kaos dan celana komprang yang dikenakan si lelaki sudah memudar warnanya di makan usia. Saat itu, dia hanya memandangiku. Aku tersenyum dan mencoba berkomunikasi dengannya. Namun dia hanya diam saja. Dua jari tangannya didekatkan ke arah bibirnya. Aku mencoba memahami isyaratnya itu dengan menjulurkan sebungkus rokok kepadanya.
Tangan lelaki tua itu meraih rokok yang kusodorkan, lalu mengambil sebatang. Aku segera menyodorkan mancis yang sudah kuhidupkan ke arah rokok yang terlelip di bibirnya. Lelaki itu lalu menyalakan rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Bibirnya bergerak-gerak, namun tak ada terdengar suara yang keluar dari sana. Sebelum berlalu, aku memberikan bungkusan rokok yang kumiliki padanya. Namun dia menolak dan hanya mengambil sebatang saja, setelah itu dia berjalan ke arah rumah tuanya.
Sore harinya, karena penasaran dengan sosok lelaki tua itu, aku mendatangi rumah Pak Umar, kepala dusun. Tujuanku ingin bersilaturahmi sekaligus mengetahui siapa sosok misterius penghuni rumah berhalaman luas, yang di mataku juga terkesan misterius itu. Saat kuceritakan pada Pak Umar tentang pertemuanku dengan lelaki itu, Pak Umar terkejut dan berkata, “Kenapa, apakah Pak Iwan diganggu oleh Alamsyah?” “Tidak, Pak, hanya saja ketika saya lewat siang tadi, dia berdiri di pingir halamannya, lalu saya menyodorkan rokok padanya. Namun anehnya, dia hanya mengambil sebatang saja, padahal saya sudah ikhlas bila dia mengambil sebungkus rokok tersebut,” ceritaku pada Pak Umar. Pak Umar menarik nafas berat. “Ya, begitu dia. Alamsyah memang selalu demikian. Dia selalu minta rokok pada setiap orang yang dijumpainya. Tapi bila disodori sebungkus, dia hanya mengambil sebatang saja, setelah itu dia berlalu,” jelasnya.
Pak Umar melanjutkan bahwa, dulunya Alamsyah adalah pemuda yang rajin bekerja. Tapi sejak dia dibawa pergi orang Bunian naik pesawat terbang dan menghilang beberapa lama, dia jadi lupa ingatan, lupa pada dirinya sendiri.
“Orang Bunian itu dari suku apa, Pak?” Tanyaku. “Nak Iwan, orang Bunian itu adalah sebangsa makhluk halus.” jelas pak Umar. Selanjutnya Pak Umar menceritakan tentang laki-laki bernama Alamsyah itu padaku. Inilah ceritanya….
Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1970-an. Pada masa itu, bepergian dengan pesawat merupakan pengalaman istimewa. Hanya para pejabat dan orang kaya sajalah yang dapat melakukan perjalanan udara tersebut.
Kala itu, Alamsyah baru berumur 20 tahun. Sebagai pemuda miskin, Alamsyah ingin merubah nasib keluarganya. Dia sudah bosan tinggal di desanya. Apalagi kehidupan keluarganya yang miskin mengharuskannya bekerja keras sebagai petani penggarap. Rasanya, Alamsyah sudah membanting tulang seharian, namun hasil yang diperoleh tidaklah memadai, hanya cukup untuk makan sehari-hari. Merasakan keadaan hidup yang sedemikian, Alamsyah suka melamun sendirian, terutama bila dia melihat pesawat terbang yang melintas di atas pematang sawahnya. Dia mengkhayal, apakah dirinya dapat menikmati duduk di dalam pesawat itu. Dan impiannya naik pesawat terbang selalu diceritakan pada para tetangganya. Bagi penduduk desa tempatnya tinggal, jangankan untuk naik pesawat, melihat besarnya pesawat itu dari dekat saja mereka tidak pernah. Sehingga bila Alamsyah menceritakan impiannya, mereka selalu menertawakan dan mengolok-oloknya. Tapi Alamsyah tidak pantang menyerah. Suatu ketika, ada tetangga dusun sebelah yang akan berangkat haji. Dia pun ikut rombongan mengantar ke kota Medan. Tujuannya hanya ingin ke Bandara Polonia dan melihat dari dekat badan pesawat terbang.
Alangkah kagumnya dia, tatkala melihat ukuran pesawat yang sedemikian besarnya. Apalagi saat pesawat itu mulai lepas landas, tanpa sadar tangan Alamsyah melambai-lambai. Sepulangnya ke rumah, keinginan Alamsyah untuk naik pesawat terbang semakin menggebu-gebu. Untuk mewujudkan impiannya itu, Alamsyah semakin rajin bekerja. Kadang, seharian dia mencangkul di ladangnya dan baru pulang bila malam menjelang.
Seperti yang terjadi hari itu. Saat matahari sudah condong ke barat, para petani yang bekerja, satu-persatu mulai meninggalkan ladangnya. Namun Alamsyah belum beranjak jua. Tanpa disadarinya, malam sudah menjelang. Dan hanya Alamsyah sendiri yang masih mencangkul di ladangnya. Saat itulah, entah dari mana asalnya, Alamsyah mendengar suara keramaian. Dia menghentikan pekerjaannya. Tatkala diperhatikan, di sekelilingnya bukan lagi persawahan, namun telah menjelma menjadi sebuah kota yang sangat indah.
Lampu-lampu terang benderang menghiasi setiap sudut kota itu. Alamsyah melihat orang-orang hilir mudik dengan pakaian yang indah. Ada yang berjalan dengan membawa belanjaan, tapi ada juga yang menaiki kuda.
Dalam keheranannya, Alamsyah merasa bahunya ditepuk seseorang. Saat dia melihat ke belakang, kagetlah dia karena yang menepuk bahunya adalah seorang gadis yang sangat cantik. Gadis itu tersenyum padanya.
“Apakah Abang penghuni baru kota ini, karena saya tidak pernah melihat Abang sebelumnya?” Tanya gadis itu. “Kamu siapa? Dan aneh, saya berada di mana sekarang? Kalau tidak salah tadi saya sedang mencangkul di sawah. Tapi kenapa saat ini saya sudah berada di kota ini?” Alamsyah keheranan.
Gadis itu kembali tersenyum. Dan senyumnya kali ini seakan telah membius kesadaran Alamsyah, sehingga dia mendadak lupa pada keheranannya sendiri.
Namun, gadis itu kemudian berujar dengan suara teramat lembut, “Perkenalkan, saya Laila, salah seorang warga penghuni kota ini, Bang. Benar kata Abang tadi, bila matahari bersinar, tempat ini merupakan persawahan. Tapi bila hari senja, disini adalah tempat tinggal kami. Perkampungan orang Bunian.”
Alamsyah melongo. Dia sungguh-sungguh sulit percaya dengan apa yang baru saja dikatakan gadis yang menyebut dirinya sebagai Laila itu.
“Ah, sudahlah, Bang!” Cetus Laila melihat lawan bicaranya yang tampak seperti orang linglung. Dia lalu melanjutkan, “Saya lihat Abang lelah dan belum makan. Sebaiknya Abang istirahat di rumah saya.”,Laila, gadis Bunian itu kemudian membimbing Alamsyah berjalan. Bagai orang dihipnotis, Alamsyah menuruti saja langkah Laila. Dengan bingung Alamsyah melihat di sisi kanan kiri jalan bangunan-bangunan kuno tertata apik dan rapi. Sesekali juga mereka berpapasan dengan penduduk kota tersebut, dan terlihat memperhatikan kehadiran Alamsyah.
Mereka akhirnya sampai di depan sebuah pintu gerbang rumah yang dijaga oleh pengawal. Dengan isyarat tangan Laila, Alamsyah dan gadis itu masuk ke dalam ruangan yang ternyata merupakan sebuah istana. Alamsyah kagum melihat perabotan rumah yang begitu indah. Meja dan kursi serta hiasan dindingnya berukiran indah. Sementara itu perabotan makannya terbuat dari perak.
Puas mengagumi keindahan istana itu, Laila membawa Alamsyah ke sebuah kamar dan menyodorkan pakaian padanya. “Abang mandilah dahulu dan berganti pakaian yang ada di lemari ini. Usai itu, kita makan dan jalan-jalan berkeliling kota menikmati malam. Karena saat ini keramaian dan pertunjukan pasar malam,” kata Laila. Pemuda itu menuruti perkataan Laila. Dia mandi dan berganti pakaian. Setelah itu mereka menuju ruang makan. Alamsyah dipersilahkan tuan rumah untuk mencicipi hidangan yang tersedia di atas meja. Karena seharian mencangkul di sawahnya, Alamsyah sangat lapar, dan dia menikmati makanan dengan lahap. Setelah makan, mereka berkeliling kota dengan menaiki kuda. Sepanjang perjalanan Alamsyah tak henti-hentinya mengagumi keindahan kota tersebut. Ketika istirahat di sebuah bangku taman, Laila bertanya pada Alamsyah. “Kalau saya perhatikan, Abang sangat gembira. Sepertinya Abang belum pernah menikmati kegembiraan seperti ini?” Tanyanya.
“Ya, baru inilah saya menikmati perjalanan yang menyenangkan. Sehari-hari saya hanya bekerja membanting tulang di ladang. Semua itu Abang lakukan untuk menghidupi keluarga dan demi mewujudkan impian Abang,” jelas Alamsyah. “Memangnya apa impian Abang itu? Ya, siapa tahu Laila bisa membantu,” Laila menatap lelaki di depannya. “Abang pernah bermimpi memiliki rumah yang bagus dengan isteri cantik. Tapi mimpi Abang yang paling menganggu adalah ingin menikmati perjalanan dengan pesawat terbang. Abang ingin merasakan terbang di antara awan dan melihat keindahan kota Jakarta,” jelas Alamsyah panjang lebar.
“Di alam orang Bunian, impian Abang bisa aku wujudkan. Sekarang pegang tanganku dan pejamkan mata Abang, dan jangan buka sebelum aku perintahkan!” Kata Laila sambil merapatkan lima jarinya ke jari Alamsyah.
Bagai dihipnotis, Alamsyah menuruti permintaan Laila. Perlahan, dia memejamkan matanya. Agak lama berlalu, kemudian terdengar suara lembut Laila, “Bukalah matamu, Bang, dan perhatikan di sekeliling kita!”
Saat membuka matanya, Alamsyah terkejut, karena dia sudah berada di Bandara Polonia, dan sedang berjalan dengan Laila menuju ke sebuah pesawat. Perlahan tapi pasti, Laila membimbing langkah Alamsyah menaiki satu-persatu anak tangga pesawat. Alamsyah tidak mengerti bagaimana dia dan Laila bisa sampai di sana? Padahal jarak dari kampungnya ke Bandara yang ada di kota Medan itu bisa memakan waktu satu hari perjalanan.
Alamsyah juga heran, sepertinya tidak ada orang yang peduli dan memperhatikan kehadiran mereka di sana. Setiap orang masing-masing sibuk dengan urusan dan bawaannya sendiri, saat akan menaiki badan pesawat.
Sampai di dalam pesawat, Laila membawa Alamsyah ke ruangan pilot. Dari sana mereka melihat bagaimana pesawat itu mulai melakukan penerbangan. Saat itu perasaan Alamsyah sangat senang, karena dia dapat merasakan berada di dalam pesawat terbang.
Dari atas pesawat, Alamsyah memperhatikan rumah-rumah di bawah yang sudah tampak setitik, dan selanjutnya hilang di balik awan. Dan pemandangan hanya seputih awan saja. Dari pengeras suara, Alamsyah mendengar pengumuman bahwa sesaat lagi pesawat akan mendarat di Ibukota Negara Jakarta, tepatnya di banda Halim Perdanakusumah, ketika itu. Alamsyah pun bersiap-siap hendak turun. Tapi dia juga heran, sebab Laila yang membawanya naik pesawat tidak berada di sisinya lagi. Alamsyah berjalan mencari-cari di dalam pesawat tersebut. Hingga, akhirnya pesawat mendarat, dan satu persatu penumpang turun, Alamsyah tak menemukan Laila. Dalam kegalauannya mencari Laila, Alamsyah melangkahkan kakinya menuruni anak tangga pesawat. Saat kakinya menjejak di tanah, cahaya matahari menyengat kulit tubuhnya, dan menyilaukan matanya. Nah, ketika itulah keanehan terjadi. Alamsyah yang sebelumnya berpakaian bagus, ketika itu berubah berpakaian lusuh, seperti akan ke sawah. Dua orang petugas Banda yang melihat penampilannya tersebut heran pada kehadiran Alamsyah di bandara, sebab dengan pakaian seperti orang yang akan berangkat ke sawah; celana komprang, baju lusuh, dan topi caping bertengger di kepalanya, Namun, orang berpenampilan lusuh itu baru saja turun dari pesawat. Padahal di zaman itu, orang yang bepergian dengan pesawat, hanyalah para pejabat ataupun orang kaya saja. Mereka sudah tentu berpakaian bagus. Ketika petugas menanyakan tiketnya, Alamsyah tidak tahu, karena menurut pengakuannya dia menaiki pesawat dengan sebab diajak seorang gadis cantik bernama Laila.
Petugas yang memeriksa Alamsyah semakin kebingungan, bahkan kemudian menganggap Alamsyah orang gila. Bayangkan saja, setiap kali ditanya petugas, Alamsyah hanya bisa menyebut-nyebut nama Laila yang telah membawanya. Ketika ditanyai nama, alamat dan darimana sia berasal, Alamsyah sudah tidak tahu lagi, yang keluar dari bibirnya hanya nama Laila saja.
Setelah ditahan selama satu minggu oleh petugas, dan terbukti tak membawa benda-benda berbahaya, saat pesawat akan berangkat ke Medan, Alamsyah dititipkan untuk diperiksa di Medan, karena menurut dugaan petugas dia berasal dari sana. “Namun, Tuhan berkehendak lain, sejak itu Alamsyah menjadi bisu dan tidak tahu siapa dirinya lagi. Hingga aparat keamanan melepaskannya. Beberapa orang warga desa ini menemukan Alamsyah di jalanan setelah enam bulan dia menghilang, dan dalam kondisi seperti yang Nak Iwan lihat tadi, dia bisu dan kurang ingatan,” jelas Pak Umar di akhir ceritanya.
Aku pun terdiam. Ah, betapa sulit diterima akal sehat kisah mistis yang dialami oleh Alamsyah ini. Wallahu’alam!
4. TIGA MALAM DIBAWA HANTU PABURU PENGHUNI SINGGALANG KARIANG
Aneka keanehan kerap terjadi di tikungan jalan yang cukup angker ini. Salah satunya adalah keberadaan hantu Pabaru yang senang menculik manusia….
Nama Singalang Kariang, mungkin tak akan asing lagi bagi orang yang pernah melintasi jalan protokol yang menghubungkan Padang-Bukit Tinggi, atau Padang-Batusangkar di daerah Sumatera Barat. Ketajaman tikungan dan ketinggian tanjakan menjadi fenomena bagi sopir-sopir truk dan bus yang melintasi jalan ini. Tapi bukan hanya tajamnya tikungan dan tanjakan saja yang berkesan bagi orang-orang yang pernah melewatinya. Kejadian mistis yang beragam juga bisa dijumpai disana.
Bermacam cerita tentang angkernya lokasi ini seakan tak pernah ada hentinya, terutama dituturkan oleh sopir-sopir. Ada yang mengaku prenah melihat harimau besar penunggu tanjakan, ada juga yang mengaku pernah melihat makhluk tinggi besar yang dipenuhi bulu hitam menyebarang jalan.
Walau lokasi ini sangat terkenal keangkerannya. Buktinya, ada juga pedagang asongan yang menjadikan tempat ini sebagai areal usaha mereka. Singalang Kariang sebagai halte penungguan bus menjadi tempat mereka menjajakan dagangan.
Ada kisah mistis menarik sekaitan dengan aktivitas para pedangang asongan itu. Salah seorang di antara mereka, pernah disekap selama tiga malam oleh Pabaru, hantu yang terkenal di daerah itu. Nah, Penulis menuturkan kisahnya seperti berikut ini….
Kerasnya tuntutan hidup, membuat kami melupakan rasa takut. Beberapa orang di antara kami pedagang asongan, jarang yang berani turun di lokasi Singalang Kariang pada malam hari. Dari tujuh puluh orang yang biasa berjualan dilokasi itu pada siang hari, cuma ada empat orang yang mempunyai keberanian untuk berjualan pada malam hari. Salah satu dari keempat pengasong itu adalah Dedi Rahmat. Entah datang dari mana keberaniannya, dia seperti tak pernah terpengaruh dengan cerita-cerita yang beradar di Singgalang Kariang.
Dedi Rahmat, sepulang berjualan sering bekerja sebagai Banpol (semacam polisi cepek-Red) ditanjakan Singalang Kariang. Memang, tanpa bantuan dari Banpol, truk-truk yang bermuatan berat sedikit ragu untuk menaiki tanjakan. Dari sejumlah Banpol itu, hanya Dedi Rahmat yang berani bekerja sampai larut malam.
Merasa bekerja sebagai Banpol lebih mendatangkan hasil, Dedi meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai pedagang asongan. Setaip malam dia menjadi “polisi cepek” di areal tanjakan angker itu. Karena keberaniannya ini, para pedagang asongan yang berjualan malam hari menjadi bertambah banyak.
Memang Dedi terkenal sangat pemberani. Ia mengaku telah banyak melihat wujud penghuni Singalang Kariang. Misalnya saja, dia pernah melihat bola api yang melintasi jalur itu. Bahkan dia juga pernah didatangi makhluk tinggi besar yang menyerupai gorila. Pernah pula melihat tiga orang bocah telanjang yang sedang bermain-main ditepi jalan.Berkat keberanian yang dimilikinya Dedi tak pernah lari dan berniat untuk menghentikan pekerjaannya sebagai Banpol.
***
Jum’at sore. Waktu itu hujan turun sangat lebat. Bus yang melintasi Singalang Kariang tiba-tiba terperosok di tepi jalan. Banyak penumpang mengalami luka-luka, dan tiga orang meninggal dunia. Sedangkan sopir bus dapat selamat tanpa sedikitpun luka. Sopir itu mengatakan kecelakaan itu terjadi disebabkan oleh keterkejutannya ketika melihat bayangan hitam melintas di jalan, hingga secara reflek kakinya menginjak rem dan stir dibantingkan ke kiri, sehingga membentur tembok pengaman. Silaing Kariang semakin seram akibat kejadian itu.
Baru sehari setelah kejadian, dua orang pemuda yang melintasi jalan itu dengan menggunakan kendaraan Kijang Super, pingsan di atas tanjakan. Ketika mereka siuman, mereka menceritakan kalau mereka baru saja menabrak dua orang anak kecil yang melintas di jalan itu.
Mendengar laporan kejadian, orang-orang yang pernah melihat sesuatu di sana sangat membuat pedagang asongan takut.Malam minggu waktu itu, aku (Penulis) turun di Singalang Kariang kira-kira pukul 22.00 WIB. Kendaraan masih ramai. Maklum malam minggu. Aku duduk di tembok jalan sambil melihat ramainya jalan. Tapi entah apa yang membuatku sangat ingin berjalan mendekati batu cadas di depan tempatku duduk. Dan saat itu aku melihat seorang berpakaian serba hitam, membawa dua ekor anjing. Aku mendekatinya tapi dia menjauh dariku. Ketika aku berhenti mendekatinya, dia pun berhenti seakan memberiku waktu untuk terus mendekati. Aku pun berjalan kembali untuk mendekatinya. Dia pun berjalan kembali untuk menjauhiku, begitu seterusnya.
Entah berapa jauh jarak yang aku tempuh untuk mengikutinya. Aku tak tahu pasti. Yang jelas, dalam perjalanan itu aku banyak melewati rumah-rumah mewah bagaikan melintasi sebuah kota besar. Padahal, dalam keadaan normal di tempat itu tidak ada rumah mewah dan tempatnya juga cukup sepi. Sesampai di sebuah rumah, yang rupanya rumah milik orang yang kuikuti, kulihat orang itu memasukkan anjing-anjingnya ke kandang, Anehnya, dia juga membawa aku masuk ke rumahnya. Walau kami seperti sudah saling mengenal, namun tak ada percakapan yang terjadi antara aku dengannya. Ketika aku masuk ke rumah itu, aku disuguhi minuman dan makanan. Bahkan kemudian aku diajak bertamu ke rumah-rumah mewah yang dia katakan sebagai tetangganya.
Setelah berkeliling, aku kemudian dipersilahkan tidur di salah satu kamar. Entah berapa lama aku tertidur. Ketika aku terbangun, aku sudah berada di pangkuan pak tua yang menyelamatkan aku. Pak Tua itu telah menemukanku tidur diatas dahan kayu yang tak terlalu besar untuk menahan tubuhku. Pak Tua yang kemudian kuketahui bernama Pendi Khatik Marajo itu mengatakan, bahwa ia menemukanku ketika hendak mencari daun untuk ramuan obat. Dia melihatku tertidur diatas dahan kayu dengan pulasnya. Karena telah mengerti apa yang telah terjadi, Pak Pendi segera memajat pohon itu dan membawaku turun.
Dengan keahlian yang dimilikinya dia membaca mantra untuk membebaskan aku dari pengaruh setan. Aku menceritakan apa yang bisa kuingat kepada Pak Pendi tanpa satupun yang tersisa. Pak Pendi memberiku ramuan yang harus kuminum untuk membersihkan perutku dari jamuan setan yang telah termakan olehku. Kemudian Pak Pendi menceritakan kepadaku kalau yang telah membawaku itu adalah hantu Paburu. Pak Pendi juga mengatakan kalau aku bernasib mujur, karena jarang orang yang telah dibawa berhari-hari dapat ditemukan kembali. Bulu kudukku merinding mendengar cerita Pak Pendi barusan. Rupanya, aku telah dibawa selama tiga hari tiga malam dan telah banyak memakan ramuan-ramuan setan itu.
Semenjak kejadian itu aku berubah total. Aku tak punya keberanian lagi untuk berjualan malam, apalagi bekerja sebagai Banpol di Singgalang Kariang.
Tiga bulan setelah kejadian itu, tepatnya ketika dua hari memasuki bulan suci Ramadhan tahun 2003, Dedi yang terkenal dengan keberaniannya kerasukan setan di lokasi Singalang Kariang itu.
Dedi yang semula sangat pendiam berubah 90 derajat. Dia sangat suka bercerita, tapi ceritanya suka ngawur. Dedi dirawat di rumah sakit. Tapi setelah tak ada perubahan, Dedi dibawa pulang ke rumahnya dan didatangkan orang pintar untuk mengobatinya. Namun, tak satupun orang pintar yang dapat menyembuhkannya. Menurut orang-orang pintar yang pernah merawatnya, Dedi dirasuki oleh penunggu Singalang Kariang, memang suara Dedi sering berubah-rubah ketika berbicara. Tapi aku menjadi bertanya sendiri dalam hatiku apa benar tubuh manusia bisa dimasuki makhluk lain lebih dari satu makhluk?
Kian hari Dedi kian lupa dengan jati dirinya. Dia sering menyebutkan perkataan yang aneh-aneh, kadang dia berbahasa Inggris dan kadang bahasa Jawa.
Ketika ditinggal sendirian di rumah ketika semua orang pergi mengikuti shalat sunnah Idul Fitri, Dedi berlari keluar rumah sambil membawa sejerigen minyak tanah dan sebungkus korek api. Ia memandikan diri dengan minyak tanah ke sekujur tubuhnya dan menyalakan korek api untuk membakar tubuhnya. Api segera membakar tubuhnya. Tetangga yang melihat api yang berjalan, segera berupaya memadamkannya ketika tahu kalau Dedi lah yang berada di balik api tersebut. Api dapat dipadamkan dan Dedi tersungkur jatuh dengan badan melepuh.
Dedi dilarikan ke rumah sakit yang berada di kota Bukit Tinggi. Kemacetan jalan karena ramainya kendaraan di jalan dihari lebaran itu membuat aku dan kawan-kawan menangis menahan haru, mendengar suara erangan kesakitan yang keluar dari mulut Dedi. Kami sangat menyayangkan apa yang telah terjadi pada Dedi. Padahal dia seorang pemberani dan bertanggung jawab. Demi menghidupi keluarganya dia menghapus rasa takut di hatinya. Hampir satu tahun aku tak berani untuk menceritakan peristiwa yang pernah kualami. Keanngkeran Singalang Kariang yang sebelumnya hanya kuanggap hanya cerita untuk menakut-nakuti saja, tapi semuanya telah aku alami, ditambah lagi aku harus kehilangan Dedi yang mati secara tragis akibat membakar dirinya sendiri. Aku menuliskan semua ini setelah mengumpulkan keberanianku. Aku merasa semua ini lebih baik diketahui banyak orang untuk menghilangkan kesombongan seperti yang kami alami selama ini.
5. PERUQYAH BERHASIL MENGELUARKAN ORANG DARI ALAM JIN
Setelah sekian lama tidak menuliskan kisah perjalanan kami, kali ini Team Ruqyah akan berbagi cerita tentang sebuah kisah menggemparkan yang terjadi didaerah bekasi. Kisah ini berawal dari sebuah acara makan malam keluarga yang bahagia disalah satu rumah yang dihuni oleh seorang ayah yang berprofesi sebagai seorang executif muda, sebagai seorang General manager di salah satu perusahaan multi nasional terkemuka di asia tenggara dan seorang ibu muda yang baru saja melahirkan seorang anak tampan bernama Taufan .
Nampak kebahagiaan meliputi sore itu dimana sang ayah berceritera tentang kesuksesan perusahaannya yang baru saja mendapatkan tender berskala super fantastis berkat dedikasi dan pengorbanan yang tak kenal waktu dari seluruh team perusahaannya, sang istri pun memperhatikan dengan raut muka bangga pada suaminya tersebut, namun beberapa saat kemudian sang istri terhentak kaget dan bingung karna tanpa bisa dijelaskan oleh logika sang suami tercinta tiba-tiba raib begitu saja dari pandangan mata, sambil mengucak-ngucak mata dia melangkah ke tempat dimana sang suami duduk sebelum menghilang tanpa ada bekasnya, keringat dingin dan raut muka terperangah tak dapat dia elakkan karana tak tau harus berkata apa. Sejenak dia membisu mencoba menyangkal apa yang baru saja terjadi tapi kesedihan yang tiba-tiba begitu kuat dan tanpa terasa dia telah berteriak sekeras-kerasnya, dan satu hal yang dia ingat adalah senyum cerah suami sebelum dia menghilang.
Singkat cerita 1 tahun berlalu tim mabes polri telah menyelidiki kasus ini namun nihil, agen penyidik swasta pun telah disewa namun belum ada hasil, paranormal telah dikerahkan namun satu kata yang keluar yaitu bahwa suaminya disembunyikan oleh makhluk halus yg sakti karena tanpa jejak dan tidak dapat dirasakan kehadirannya, inti dari peruwatan kejadian tersebut adalah suami tersebut hilang tanpa jejak.
Beberapa ustadz ternama dari negeri inipun telah mencoba membantu namun qodarullah belum ada titik cerah yg bisa membantu dimana keberadaan suami tercintanya dimana berada, namun tekad kuat sang istri tak pupus karena sudah 2 tahun berjalan tanpa terasa dia masih berikhtiar dengan segenap tenaga dan usaha, tidak terhitung berapa dana yang sudah terbuang .
Karena sebuah traumatis kejadian itu bu Erna panggilannya merasa ada yg aneh pada dirinya yaitu dia kerap merasa bahwa suaminya ada didekatnya, itu yg membuatnya merasa bahwa ada hal lain yg mulai hinggap di hatinya dan jiwanya, melalui layanan internet dia mencari alamat ruqyah yg ada di jakarta dan sekitarnya dan dia mendapatkan alamat klinik ruqyah syar’iyah di daerah Pondok Bambu Jakarta Timur. Sesaat kemudian dia menghubungi operator dan membuat janji untuk di ruqyah.
Keesokan harinya team ruqyah meluncur ke lokasi, dan pertemuan itu adalah hal yang terjadi dengan durasi kurang lebih 2 jam yg mengubah hidupnya. Sejenak setelah menunaikan shalat maghrib abu albani mulai menanyakan perihal apa yang dirasakan bu erna, dan bercerita apa yang telah penulis ungkapkan diatas. Kemudian Abu Albani mulai meruqyah bu Erna, nampak tidak ada reaksi apa-apa pada bu Erna, namun isak tangis mulai terlihat setelah bebarapa saat ayat-ayat ruqyah di bacakan, setelah sesi pertama usai Abu Albani kemudian meminta seluruh penghuni rumah keluar rumah sejenak, da’i itu mengatakan dia merasa ada hal lain di rumah tersebut dan dia memutuskan untuk meruqyah seluruh rumah untuk mengeluarkan hal-hal negatif akibat ulah jin yg berdiam dirumah tersebut, ketika sampai pada suatu ruangan di rumah tersebut abu albani terlihat melakukan shalat sunnah 2 rakaat kemudian ta’awudz dan sekonyong konyong dia memasukan tangan kanannya ke dalam lemari pakaian diruangan tersebut, tak disangka dari genggaman tangan abu albani terlihat kerah baju seorang laki-laki muda dan subhanallah ternyata tidak hanya baju laki-laki tersebut namun orang yang selama ini hilang telah ditemukan dalam keadaan sehat wal afiat dan tidak ada kurang suatu apa hanya terlihat raut wajah yg kaget bercampur riang, kontan orang tersebut memeluk dan mencium tangan Abu albani dan langsung berlari mencari anak istrinya, sekejap rumah tersebut haru biru karna pertemuan yang sangat tidak disangka antara suami istri yang kurang lebih 3 tahun tidak bertemu, dan pertemuan anak yang berusia 2, 3 tahun pertama kalinya dia bertemu ayah tercinta yg hanya selama ini dilihat melalui album foto.
Menurut pengakuan suami bu Erna hal yang ia rasakan setelah hilang dari pandangan istrinya adalah Ia dimasukkan kedalam ruangan yang asing oleh mahluk besar yang menyeramkan. Ketika berulang kali ia mencoba untuk keluar yang terjadi adalah, ia seperti terjatuh kedalam jurang yang sangat dalam, namun yang terjadi adalah ia kembali keruangan itu lagi. Mengalami hal demikian, akhirnya suami bu Erna hanya bisa pasrah, hingga akhirnya ia melihat ada sebuah tangan dari atap ruangan tersebut yang menarik kerah lehernya bagian depan yang mengeluarkannya dari ruangan tersebut, yang ternyata adalah tangan Abu Albani yanga menyelamatkannya.
Menghadapi kejadian ini bukan saja hal fantastis bagi keluarga tersebut, ini juga merupakan hal yang fantastis bagi Team Ruqyah, sebuah hal luar biasa yang tidak pernah kami duga bisa melakukannya, tapi demikianlah ALLAH telah memperlihatkan kebesarannya yang hanya dengan sebuah sebab menunjukan kebesaran-Nya, salah satunya adalah kejadian diatas, ALLAHU AKBAR!
6. Kisah Mencari Anak yang Hilang
ke Alam Siluman Buaya
Kisah ini ditulis berdasarkan kesaksian Supena, yang dituturkan bebera waktu silam. Kejadiannya berlangsung saat Supena menjebat seketris desa atau juru tulis di sebuah desa yang terletak di kecamatan Pusakanegara, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Lelaki itu semakin hari semakin menderita setelah ditinggal anak perempuannya. Anaknya yang baru berusia lima tahun itu merenggut ajal di pinggir sungai Cipunagara.
Sejak kehilangan sang anak, Dirta, si lelaki itu, selalu melamun di tepi sungai Cipunagara, dan terkadang dia bicara sendirian lalu tersenyum. Begitulah hari-hari yang dilewati Dirta semenjak empat bulan yang lalu ditinggal mati anak perempuan semata wayangnya. Rasa menyesal di hatinya membuat goncangan hebat di dalam jiwanya.
Bermula dari kemarau panjang, menjelang akhir tahun. Karena kondisi perekonomian yang sulit, banyak warga yang terpaksa makan nasi aking. Kejahatan pun semakin merebak di berbagai perkampungan penduduk.
Kebiasaan mencuri, merampok disertai penganiayaan kepada korban bukan kejadian aneh lagi ketika itu. Aku sebagai juru tulis alias sekdes cukup kewalahan menerima pengaduan dari masyarakat yang menyangkut pencurian, bakik hewan ternak maupun harta benda lainnya yang melanda warga desa. Tak terhitung pula laporan mengenai warga yang busung lapar dan terkena penyakit menular singgah di meja kerjaku yang sudah lapuk.
Begitu banyak laporan itu dan sejujurnya saja sulit untuk ditindak lanjuti mengingat kapasitasku yang hanya sebagai sekertaris desa. Namun dari semuanya, hanya ada satu laporan dari warga yang aku angap menarik untuk ditindak lanjuti, yakni tentang kematian bocah berumur lima tahun yang mati tenggelam di sungai Cipunagara ketika sedang mencari capung dengan teman-temannya.
Hari masih pagi, dan kayuh sepeda tuaku menuju rumah warga yang bernama Dirta. Ada beberapa orang hadir menyambut kedatanganku. Aku mengira jasad bocah itu langsung akan dimakamkan, tetapi setelah diperhatikan wajah-wajah yang menyambutku tampak kebingungan dan mengeluh.
“Jasadnya belum diketemukan, Pa Ulis!” Bisik salah seorang kepadaku.
“Memang kejadiannya kapan?” Tanyaku.”Kemarin sore, menjelang maghrib,” jawabnya. “Ada bukti atau saksi saat kejadian anak si Dirta tenggelam?” Tanyaku kepada ketua RT.”Ada Pa Ulis, temannya, anak Ropiah. Dia menangis pulang sambil membawa sepasang sandal anak si Dirta. Dia memberitahukan kejadiannya kepada Bapaknya,” papar ketua RT.
Aku merenung sejenak, lantas aku perintahkan semua lelaki menyisir pinggiran sungai Cipunagara menuju ke hilir mumpung hari masih pagi. Aku pun turut serta mencari bersama-sama masyarakat. Tidak sejengkalpun terlewati dari tatapan mata para pencari jasad anaknya Dirta.
Rerimbunan alang-alang dan semak-semak yang tumbuh subur di pinggiran sungai Cipunagara tidak luput dari buruan pencari jasad anak perempuan si Dirta. Teriakan-teriakan memanggil nama korban menambah hiruk-pikuk suasana saat itu.
Menjelang Dzuhur, pencarian masih tetap nihil namun semangat warga masih menggebu-gebu untuk mendapatkan korban. Seingatku hampir semua lelaki yang ada di kampung Kedung Jati turun ikut mencari. Menjelang Maghrib, pencarian dihentikan.
Seluruh masyarakat berkumpul di rumah Dirta untuk bermusyawarah mencari solusi apa yang harus dilakukan guna mendapatkan kembali jasad anak perempuannya. Kalau melihat keadaan sungai Cipunangara saat itu, airnya kecil hampir tidak berarus, ini biasa tiap tahunnya bila musim kemarau, maka tidak mungkin rasanya jasad anak perempuan si Dirta sudah jauh terseret arus. Ya, mustahil sekali.
Saat kebuntuan datang, tiba-tiba salah seorang warga berkata, “Pak Ulis, bagaimana kalau kita memanggil malim buaya (pawang buaya)?”"Boleh saja. Siapa di antara kalian yang tahu orangnya?” Tanyaku.
“Ada orangnya, tapi bukan orang desa sini. Jauh, Pak Ulis,” ucapnya.
“Dimana?” Tanyaku penasaran. “Di Haurgeulis. Tapi bisa dipanggil kesini!” Jawabnya. “Ya sudah, besok saja karena sekarang sudah malam,” ucapku.
Esok paginya, salah seorang kuperintahkan berangkat ke Haurgeulis. Sambil menunggu sang pawang buaya datang, yang ada kuperintahkan untuk turun kembali mencari jasad yang tenggelam. Siapa tahu sekarang sudah dapat timbul atau mengambang di permukaan air.
Sementara itu, Dirta tidak henti-hentinya menangis sambil berteriak-teriak memanggil anaknya yang tenggelam dua hari lalu. Semenjak bercerai dengan isterinya setahun yang lalu, anaknya itu memang ikut denganya, sedangkan isterinya pulang ke orangtuanya.
Sampai menjelang Dzuhur, yang kuperintahkan ke Haurgeulis belum juga datang. Aku dengan bersabar menunggu di pinggir sungai Cipunagara sambil memperhatikan orang-orang yang sedang mencari jasad anaknya si Dirta.
Memang bila musim kemarau, airnya dangkal hanya sebatas lutut hingga perut orang dewasa. Tetapi ada lokasi-lokasi tertentu yang dipercaya masyarakat di sekitar Cipunagara menyebutnya Kedung (lubang besar dibawah air) yang cukup dalam. Tempat ini adalah lokasi bersemayam makhluk halus, penunggu atau penghuni kerajaan siluman air sungai Cipunagara. Ya, sungai Cipunagara yang membentang dari selatan ke utara itu memang menyimpan mitos daerah-daerah yang dilaluinya. Mulai dari wilayah Kabupaten Sumedang, sampai ke hilir di wilayah Pamanukan, Kabupaten Subang.
Mitos-mitos bermunculan seperti kisah sepasang pengantin di larang menyeberang sungai Cipunagara, atau orang diluar wilayah tersebut janga mandi di sungai itu. Dan memang, mitos itu berlaku hingga sekarang dan terbukti ada yang jadi korban.
Masyarakat sepanjang sungai ketika penumpasan G30S/PKI hampir setiap hari menguburkan mayat-mayat yang mengambang dari hulu menuju hilir, dalam keadaan tidak utuh lagi. Ada yang tangannya hilang atau kepalanya tidak ada, isi perutnya kosong dan alat vital hilang, dan banyak lagi.
Ba’da Ashar, pawing buaya yang ditunggu akhirnya datang. Aku selesai shalat Ashar di surau tidak jauh dari rumah Dirta. Sebelum terjun ke lokasi, Dirta dipanggil ke surau. Orang yang dipanggil Abah dengan keahlian pawang buayanya itu meminta Dirta untuk menceritakan awal kejadianya.
Kadang-kadang aku dan warga ikut nimbrung untuk melengkapi cerita Dirta. Sesekali pria setengah baya bertubuh kecil yang dipanggil Abah itu manggut-manggut, dengan mulut komat-kamit dan matanya dipejamkan beberapa saat.
“Dirta, anakmu ada di suatu tempat yang aman. Makan dan minum disediakan,” Ucap Abah sambil tersenyum. Semua yang hadir saat itu senang mendengarnya.
“Tetapi anak itu bukan di alam manusia!”Demikian tegas Abah.
Suasana hening dan tegang. Apalagi, Dirta ingin segera Abah melanjutkan ucapannya.
“Anakmu ada didunia yang tidak tampak oleh mata sembarangan orang. Persisnya dia ada di alam lelembut penguasa kerajaan Kedung Cipunagara,” terang Abah.
“Apakah bisa diambil kembali, Abah?” Tanyaku.
“Bisa!” Jawab Abah, singkat.
“Tetapi nanti bila kita kesana. Abah minta kepada Dirta, apa yang ada di depan matamu harus diakui. Ingat itu!” Ujar Abah memperingatkan Dirta.
“Baiklah, Abah!” Ucap Dirta.
Abah melanjutkan lagi ucapannya, seraya sepasang matanya melihat orang-orang yang ikut riungan saat itu, “Abah minta seorang saksi dari pihak aparat desa sini. Apakah ada?” Tanyanya.
“Ada, Bah. Pak Ulis Supena ini!” Jawab beberapa warga serempak menunjukku.
“Pak Ulis siap jadi saksi?” Tanya Abah.
“Insya Allah siap, Bah!” Jawabku, singkat.
“Nanti kita bertiga…Abah, Dirta dan Pak Ulis berangkat ke raja penguasa Kedung Cipunagara, supaya anak Dirta dikembalikan. Tetapi seperti yang sudah Abah katakan, apapun yang kamu lihat di sana harus diakui. Mengerti, Dirta?” Abah menerangkan sambil mengingatkan kembali kepada Dirta.
Dirta mengangguk, “Ya, Bah!” Tegasnya.
Setelah semua siap, kami berangkat menuju sungai Cipunagara. Warga mengikuti dari belakang, ingin menyaksikan apa yang akan terjadi. Aku sedikit tegang, juga bertanya-tanya di dalam hati, apa yang akan dilakukan sang pawang buaya ini?
Abah menyuruh yang lain agar menunggu saja di bibir sungai. Sementara aku dan Dirta disuruh turun ke air. Sang pawang dengan diapit oleh aku dan Dirta. Tangan kananku dipegang erat-erat oleh tangan kiri Abah, dan tangan kiri Dirta dipegang erat-erat oleh tangan kanan Abah.
Kami disuruh menghadap ke tengah sungai lalu memejamkan mata, dan diminta jangan sekali-kali membukanya sebelum ada perintah dari Abah. “Jangan pula kalian menengok ke belakang!” Pesan Abah.
Entah berapa lama berlalu, kudengar Abah berucap agar kami segera membuka mata. Aneh, saat aku membuka mataku, yang di hadapanku bukan lagi air sungai Cipunagara, melainkan jalan lurus dengan bunga-bunga tumbuh di sampingnya. Indah sekali. Rumah-rumah berderet tertata rapi, bersih tidak ada sampah.
Sepanjang jalan yang kami, lalui aku tidak henti-hentinya berdecak kagum di dalam hati menyaksikan keanehan dan keindahan yang tampak di depan mata. Waktu itu kami juga berpapasan dengan sejumlah penduduk yang ramah-ramah, selalu mengangguk dan tersenyum saat berpapasan dijalan dengan kami.
Uniknya, pakaian yang dikenakan sama warnanya, hitam. Kepala mereka juga memakai ikat warna hitam pula, baik perempuan maupun laki-laki.
Kami bertiga terus saja berjalan, mengikuti Abah dari belakang. Semakin jauh melangkah semakin banyak orang kami temui, seperti layaknya memasuki pusat kota tetapi tidak kutemui kendaraan. Semua berjalan kaki. Sekali-kali Abah bersalaman, berbincang-bincang seperti yang sudah kenal sebelumnya, dengan orang yang dijumpainya.
“Pak Ulis, sekarang ini kita berada di dasar sungai Cipunagara, dan sebentar lagi kita sampai ke tempat dimana anak Dirta berada,” bisik Abah kepadaku.
Banyak sekali sebenarnya pertanyaan-pertanyaan di benakku yang akan kusampaikan kepada Abah, seperti kenapa tidak keluar keringat meskipun rasanya aku merasakan berjalan ini sudah lama sekali?
Kenapa aku merasa hari itu terang di siang hari, tetapi ketika aku tengadah tidak melihat letak posisi mataharinya? Kubiarkan pertanyaan-pertanyaan ini memenuhi benakku, sampai selesai tugas ini. Semoga saja kami semua selamat berkat lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
Kami berjalan agak sedikit di pelankan ketika melihat di depan ada sepasang gapura dengan dua penjaga memegang tombak dan perisai di tangannya yang kekar berotot. Pakaiannya seperti pakaian wayang orang di televisi. Kelihatannya galak dan berwibawa. Mungkin karena pengaruh postur tubuhnya yang tinggi besar, rambutnya gimbal sepunggung.
“Sampurasun, Gusti Punggawa!” Ucap Abah memberi salam sambil membungkukan badan kepada kedua penjaga pintu gerbang.
“Rampes, Abah. Ada perlu apa Abah ke sini?” Jawab salah seorang punggawa dengan suara menggema, yang sepertinya sudah mengenal Abah
“Abah kangen saja, ingin bertemu dengan paduka raja. Apakah beliau ada di istananya?” Tanya Abah.
“Ada, Abah. Kebetulan kanjeng raja baru pulang berburu, sekarang ada di paseban rempugan dengan para patih,” jawabnya.
“Ada masalah apa punggawa?” Tanya Abah.
“Hamba kurang tahu masalahnya, Abah. Lebih baik Abah masuk saja ke paseban kalau ingin menemui raja,” ucap penjaga pula sambil mempersilahkan kami masuk dengan sebelah tangannya.
Kami berjalan lagi melewati sebuah lapangan luas seperti alun-alun, sebelum akhirnya kami tiba di sebuah istana yang sangat megah dengan arsitektur mirip dengan istana-istana raja tempo dulu yang masih tersisa hingga sekarang.
Aku seperti di alam mimpi, tetapi saat tanganku kucubit terasa sakit. Dirta juga banyak diam. Mungkin benaknya sama denganku, banyak menyimpan pertanyaan tentang perjalanan ini yang belum sempat ditanyakan kepada Abah.
Kami tiba di paseban. Semua yang diruangan menyambut kami dengan ramah, terutama kepada Abah, yang sepertinya sudah mereka kenal sebelumnya. Kami dipersilahkan duduk bersila setelah bersalaman.
Di kursi yang mewah dan antik, duduk seorang yang dihormati oleh bangsanya. Sosok yang kharismatik berwibawa dengan pakaian kebesaran yang bergemerlapan emas permata.
“Selamat datang di negeri kami. Ada apa gerangan Abah dan rekan-rekan sudi datang ke negeri kami ini?” Tanya sang raja.
“Sebelum Abah menjawab, lebih dahulu terimalah sembah dan sujud Abah dan teman-teman kepada yang mulia paduka raja penguasa kerajaan Kedung Cipunagara,” ucap Abah sambil membungkuk badan, lalu diikuti olehku dan Dirta.
“Diterima sembah sujud Abah. Salam sejahtera sebaliknya untuk bangsa manusia yang mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pada bangsaku di sisi Yang Maha Kuasa Pencipta Alam Semesta,” ucap sang raja merendah, sambil tidak lepas seulas senyum menghias bibirnya.
“Terima kasih atas sambutan dan doa dari padaku raja. Terlebih dahulu Abah akan mengenalkan orang-orang yang Abah bawa, yang pertama adalah juru tulis Supena,” ujar Abah menunjuk kepadaku. “Dan ini di sebelahnya Dirta, warga Pak Ulis Supena. Abah datang kesini hanya perantara saja. Abah hanya menolong Dirta, kanjeng raja, yang lagi kesusahan. Coba ceritakan sendiri kesusahanmu Nak Dirta kepada sang raja.” Ucap Abah sambil menolek kepada Dirta supaya bicara sendiri maksud kedatangannya.
Dirta kelihatan gugup dan gelagapan saat diberi kesempatan untuk bicara sendiri. Melihat Dirta seperti itu, walau tanpa disuruh, aku yang bicara mengenai maksud kedatangannya.
“Begini, paduka raja. Hamba di sini bicara mewakili Dirta karena selaku pengurus masyarakat, hamba berkewajiban menolong masyarakat hamba yang membutuhkan pertolongan.”
“Bagus…bagus, Pak Ulis. Silahkan Pak Ulis yang bicara maksud kedatangan Dirta ke tempat hamba ini!” Ucapnya mempersilahkan aku untuk bicara.
Aku menarik nafas beberapa kali sebelum memulai. “Saat itu, dua hari yang lalu, anak perempuan Dirta sedang main dengan temannya di pinggir sungai Cipunagara. Tetapi temannya pulang mengabarkan ke warga kampung, bahwa anak Dirta terperosok ke sungai kemudian tidak timbul lagi sampai sekarang.
Begitulah maksud kedatangan hambar ke sini, ingin menanyakan apakah anaknya Dirta ada disini, Paduka? Dan sekalian dengan ijin paduka kami ingin membawa pulang kembali!” Ucapku dengan tutur bahasa yang lemah lembuh supaya jangan ada yang tersinggung.
Sebelum membahas mengenai anak perempuan Dirta, sang raja melemparkan pertanyaan ke para patih yang hadir saat itu dengan suara yang nyaring, sehingga membuat aku kaget.
“Wahai para patih, apakah ada di antara kalian yang berani-beraninya mengganggu anak manusia?” Teriaknya menggema mengisi ruangan paseban.
“Ampun gusti, hamba yang hadir di ruangan ini tidak berani melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh paduka raja, bahwa rakyat kerajaan Keduan Cipunagara dilarang mengusik apalagi membawa bangsa manusia ke negeri ini,” kata salah seorang patih.
“Pa Ulis…Abah…Dirta, kalian dengan sendiri apa yang dikatakan patihku tadi, bukan?” Ucap raja dengan suara rendah.
“Ampun, gusti! Hamba mendengarnya! Hamba kesini bukan menuduh tetapi hanya bersifat menanyakan semata, hamba tidak menuduh,” Abah menjelaskan sembari mengangkat kedua tangannya.
“Maaf beribu maaf, paduka gusti! Seperti yang sudah Abah katakan tadi, kami kesini hanya menanyakan. Kalau memang ada, terima kasih. Tetapi kalaupun tidak ada, kami haturkan terima kasih pula atas keramahtamahan, kesedian paduka raja menerima hamba bertiga datang kesini,” kataku melengkapi kata-kata Abah.
“Seperti yang sudah hamba katakan, bahwa bangsa manusia mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada bangsa kawula dan sudah menjadi ketetapan bangsa kawula selama ribuan tahun bahwa nenek moyang bangsa kawula melarang keras mengganggu manusia, apalagi memangsanya. Karena manusia makhluk yang paling mulia di hadapan Sang Pencipta.” Sabda sang raja disambut anggukan kepala oleh para patih.Keadaan hening sejenak di paseban. Semua membisu tidak bersuara.
“Coba ingat-ingat lagi, Patih. Apakah ada laporan dari masyarakat dua hari yang lalu?” Ujar sang raja kepada para patih yang hadir, memecah kehingan.
“Ampun gusti! Hamba hanya menerima laporan dari warga Pancerkulon yang menangkap seekor anak kambing karena mengganggu tanaman sayuran dan sekarang anak kambing itu sudah ditangkap lalu hamba simpan di istal.” Ucap salah satu patih memberitahukan kepada rajanya.
“Apakah itu milikmu, Dirta?” Tanya sang raja.
“Ampun gusti. Hamba orang miskin, hamba tidak punya kambing!” Jawab Dirta, singkat.
Mendengar jawaban Dirta seperti itu, mendadak Abah jengkel. Kenapa dia tidak mendengar nasehatnya saat riungan di surau, apa yang dilihat atau dikatakan harus diakui apapun bentuknya. Tapi, Abah tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan sang raja.
Setelah berbasa-basi, kami bertiga akhirnya pamitan pulang. Kami berjalan memotong, bukan jalan yang tadi sewaktu berangkat. Kami berdua disuruh Abah menutup mata, ketika kami disuruh membuka mata kembali, kami sudah berada dipinggir sungai Cipunagara dengan air sebatas lutut kami.
Tapi kenapa bajuku tidak basah? Sungguh pengalaman yang luar biasa, dan tak akan kulupakan seumur hidupku. Penyesalan yang sungguh teramat sangat, ketika Abah menyalahkan Dirta, yang tidak memegang nasehatnya sebelum berangkat.
“Dunia kita dengan dunia siluman buaya sangat berbeda. Tidak sama seperti manusia melihat manusia. Kalau wujud asli buaya tampak di permukaan air memangsa manusia, kemudian menyeretnya ke dalam air, itu yang dilihat buaya bukan wujud manusia lagi, tetapi bisa kambing, celeng, atau hewan-hewan lainnya.
Begitu pula sebaliknya pada manusia, apabila hanya dilihat dengan dua mata kita wujud mereka adalah buaya. Akan tetapi apabila manusia melihatnya dengan mata batin akan timbul keakraban sesama makhluk ciptaan yang Maha Kuasa seperti yang Pak Ulis Supena alami bersama Abah tadi.” Kata Abah panjang lebar, sebelum dia kembali ke Haurgeulis.
“Lantas, bagaimana nasib anak Dirta, Abah? Apakah jasadnya akan mengambang dan bisa kami kuburkan sebagaimana layaknya?” Tanyaku, penasaran.
“Mudah-mudahan!” Ujar Abah, datar.
Enam bulan sudah Dirta menanti penantian yang sia-sia di pinggir sungai Cipunagara, anaknya datang hanya didalam mimpi dan memberi senyuman.
“Bapak aku tidak jauh darimu. Tengoklah anakmu menjelang maghrib di Cipunagara. Pasti ada!” Pesannya. Batinnya terpukul waktu pertama kali menunaikan pesan mimpinya. Di hadapannya ada sesuatu yang besar dan panjang sedang menantinya. Dia tak lebih seekor buaya. Buaya itu menghilang masuk ke air.
Dirta menjerit sekuat tenaga memanggil nama putrinya. Sejak itu, tiap menjelang Maghrib, Dirta duduk di pinggir sungai Cipunagara menanti anaknya. Kadang-kadang tertawa, kadang-kadang meratap-ratap memangil-manggil nama anaknya.
Sampai aku mengundurkan diri jadi juru tulis karena uzur, jasad anak Dirta tidak diketemukan lagi. Bahkan Dirta sendiri menghilang entah kemana. Warga tidak mengetahui, cuma tiap menjelang malam ada bunya kecil suka menampakkan diri pada warga yang sedang mandi di sungai.
Demikianlah beberap kisah pengalaman orang yang terjebak dialam Jin. Diantaranya ada yang bisa kembali namun banyak pula yang hilang secara misterius dan tidak diketemukan lagi jasadnya. Semua ini agar jadi pelajaran bagi kita. Bahwa kita hidup didunia yang penuh misteri. Berlindunglah selalu pada Allah dari kejahatan berbagai mahluk ciptaannya yang kita ketahui maupun tidak kita ketahui, yang terlihat maupun tidak terlihat.
Bangsa Jin hidup dilembah lembah, sungai , lautan , pantai dan hutan dipegunungan. Rasulullah juga mengingatkan agar kita jangan buang air kecil di lubang lubang di dalam tanah karena dikuatirkan itu merupakan tempat tinggal dari bangsa Jin.
Disarankan jika berada ditempat asing dan sunyi seperti di lembah, sungai, hutan dan lautan agar selalu ingat dan berlindung pada Allah dari segala kejahatan mahluk ciptaanNya. Jangan sombong dan takabbur, berlaku sopan dan tawadhulah , hingga tidak menyinggung perasaan bangsa Jin yang mungkin tinggal didaerah itu.