Dalam pengertian yang otentik, mimpi adalah jati diri. Sebab mimpi adalah vision, visi adalah bagaimana “penglihatan” kita tentang masa yang akan dikonstruksi di masa mendatang. Masa lalu dan masa kini menjadi blue print kontruksinya, kita belajar dari masa lalu, untuk menjalani hari ini, dan akhirnya merumuskan masa depan.
Jadi, refleksi (masa lalu) + evaluasi (masa kini) = Visi (masa depan). Sulit dibayangkan bisa melakukan rencana bangunan terhadap masa depan, tanpa dibekali refleksi atas masa lalu, pun tanpa evaluasi atas masa kini, masa depan, hanya sekadar sebuah repetisi.
Tiga hal itu adalah satu paket kehidupan yang tak terpisahkan. Dalam bahasa yang lain, orang menyebutkannya “destiny”. Takdir kita adalah kecakapan dalam menyulam masa lalu, masa kini dan masa depan kira. Disamping, tentu ada space dimana kuasa yang maha kuasa menjelmakan peran. Disanalah peran-Nya sebagai dzat yang maha segala-galanya. Namun, tentu itu tidak secara keseluruhan. Sebab, bukankah tuhan sendiri menekankan aspek usaha dalam diri manusia? Siapa yang dapat mengubah nasib seseorang atau sebuah bangsa, jika bukan mereka sendiri?
Individu yang ber-visi sendiri adalah yang masa lalu, masa kini, dan masa depannya berjalan seiring pada garis yang sama, masa lalunya berada satu jengkal di belakangnya, senantiasa mengiringi masa kininya. Masa lalunya tak boleh tertinggal jauh di belakang, karena ia sangat dibutuhkan sebagai refleksi. Pun demikian dengan masa depannya, berada satu tampak di hadapannya. Ia harus berada sedekat mungkin, agar visi tak berubah wujud menjadi “halusinasi”. Jadi, masa lalu, masa kini dan masa depan adalah iring-iringan “karnaval visi kehidupan”. Perpaduan tiga hal tersebut haruslah professional. Tidak boleh berat sebelah.
Banyak orang yang tak mampu menempatkan tiga hal tersebut secara professional. Sebagian terjebak pada kubangan masa lalu, akhirnya, mereka menjadi seorang pemuja glorifikasi zaman lampau yang sebenarnya sudah tidak relevan lagi. Ada juga yang terlilit oleh tali masa kini, sehingga stagnan. Memang benar, orang seperti itu setidaknya tidak terseret ke masa lalu. Namun, mereka juga tak mampu melangkah ke depan. Mereka mandeg di satu horizon waktu dan tempat.
Selain itu, tak sedikit pula yang justru terlampau jauh melangkah ke depan, tanpa membekali diri dengan refleksi dan evalusi. Konsekuensinya: orang model ini juga terjebak pada satu titik, namun titik jebakannya adalah masa depan. Dengan lain kata, mereka terikat oleh nikmatnya ”halusinasi” yang membumbung tinggi, tak terpijak pada realitas. Halusinasi bukanlah mimpi, apa lagi visi! Hal ini perlu ditegaskan, sebab tidak sedikit orang yang menyamakan antara halusinasi dengan ketiga hal tersebut. Halusinasi “kosong”, sementara visi memiliki “isi”.
Dengan visi hidup, masa depan “terlihat” jelas di hadapan kita. Masa depan menjadi sesuatu yang pe-raih-annya hanya menunggu soal waktu. Ia akumulasi dari pelbagai hal yang sedang kita persiapkan “logistiknya” pada masa kini dan dijamin bukan merupakan repetisi dari masa lalu. Visi adalah penglihatan kita akan masa depan kita. Sudahkah kita memiliki visi hidup? Jika tidak, berarti masa depan kita “tak terlihat”, alias gelap!
0 komentar:
Posting Komentar