EMPAT wisatawan asing bergegas turun dari mobil Avanza, lalu menuju kubu (kandang) seekor sapi yang tengah makan rumput di satu petak sawah Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali, Selasa (1/2/2011).
Wisatawan asal Eropa itu bergantian foto bersama dilatarbelakangi panorama sawah berundak serta Gunung Batu Kau, selain Gunung Batur dan Gunung Agung yang samar-samar terbayang di belakang tersaput kabut sore.
Tidak lama berselang, datang beberapa minibus membawa wisatawan asal Eropa, Jepang, dan Singapura yang terdiri atas anak-anak dan dewasa. Setelah kendaraan diparkir, mereka berhamburan untuk berfoto dan melepas pandangan ke bentangan sawah berundak yang tanaman padinya baru mengeluarkan tunas.
Sawah bertingkat sebagai point of view itu berada di seberang jalan utama yang memisahkannya dengan rumah penduduk Desa Jatiluwih yang umumnya bermata pencarian sebagai petani. Petak-petaknya menghampar mengikuti kontur tanah sehingga para pelancong bisa saja nongkrong dalam kendaraan menyaksikan hamparan sawah yang bagaikan lukisan alam.
Undakan sawah, hawa sejuk dataran tinggi, serta petani yang lalu lalang membawa cangkul, sabit, dan peranti acara untuk sembahyang di pura sawah sebelum mengerjakan lahan garapan boleh jadi sebuah karisma Desa Jatiluwih, Desa Mengesti, dan beberapa desa di sekitarnya. Itulah agaknya pertimbangan areal bercocok tanam di desa-desa itu diusulkan sebagai cultural world heritage ke UNESCO.
Usulan itu bagi Nengah Wirata, Kepala Desa Jatiluwih, membawa konsekuensi, antara lain kawasan itu menjadi ”milik bersama” warga lokal dan masyarakat dunia (wisatawan). Pemilik, terlebih lagi investor, tak bebas mengalihfungsikannya. Artinya, ”Wisatawan hanya tour menikmati kawasan ini, tetapi mereka menginap di tempat lain,” ujar Made Suarya, petani dan purnawirawan TNI AD dari Dusun Wangaya Betan, Desa Mengesti.
Areal sawah di Desa Jatiluwih relatif sempit, yaitu 303 hektar (ha), dan di Desa Mengesti 160 ha. Namun, keduanya berkontribusi terhadap Kabupaten Tabanan sebagai lumbung padi Provinsi Bali.
Di pihak lain, menurut Wirata dan Suarya, sawah dan alam sekitar adalah manifestasi ajaran Hindu yang tertuang dalam Tri Hita Karana: hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam. Harmonisasi hubungan antarkomponen itu diterapkan secara turun- temurun lewat subak—sistem tata guna air—yang sarat makna solidaritas sosial, gotong royong, dan toleransi. Nilai-nilai solidaritas juga terwakili dengan keberadaan permukiman Muslim di Dusun Soko, Desa Senganan—tetangga Desa Jatiluwih.
Tercatat ada 12 keluarga (75 jiwa) yang tinggal di sana. ”Kami adalah generasi ketujuh di sini,” ujar Jamirin, pengurus Masjid Al Hamzah yang berada di sebuah dataran tinggi. Saat dibangun, warga yang beragama Hindu ikut membantu meratakan perbukitan tempat masjid itu kini berdiri.
Selama ini mereka hidup berdampingan secara damai, malah ibunda Jamirin, yaitu Siti Suwani, adalah mualaf yang berasal dari Desa Jatiluwih. Tradisi saling kunjung saat Idul Fitri dan Galungan, bahkan tradisi ngejot (mengantar makanan) ketika tiap-tiap umat merayakan hari besar keagamaan, masih berjalan hingga saat ini.
Hubungan harmonis itu berjalan turun-temurun, sebagaimana strategi menanam padi varietas lokal yang bertali-temali dengan nilai sosial dan budaya serta kearifan lokal. Salah satunya, pantang mendirikan bangunan permanen di persawahan. Sebab, dengan situasi alam terbuka di tengah sawah, bangunan sangat rawan disambar petir. Karena itu, petani hanya membangun kubu (gubuk) yang berfungsi sebagai gudang untuk menyimpan alat pertanian atau kandang ternak. Kubu dan ternak itu berperan ganda untuk menghasilkan bahan baku pupuk dan pemrosesan pupuk organik dari kotoran sapi atau kerbau.
Dengan pupuk organik itu, Suarya yang memiliki 0,30 are (30 meter persegi) sawah bisa memperoleh 2 ton gabah kering panen. Hasil itu sangat tinggi dibandingkan lahan yang ditaburi pupuk kimia dengan produksi 16 kuintal.
Tradisi agraris itu diduga berkaitan dengan mitos yang menyertai Pura Batu Kau dan pura besar lain, seperti Besakih, Lempuyang, Andakasa, dan Pura Batur di Bali. Konon, suatu masa terjadi kemarau panjang di seputar Pura Batu Kau. Rakyat pun masuk hutan mencari makanan. Di antara mereka, dalam suasana antara sadar dan tidak sadar, ditunjukkan ”pemandangan gaib”: sawah dengan tanaman padi menguning dan sebuah rumah berpenghuni seorang kakek.
Mereka diminta singgah di rumah itu, lalu sang kakek memberi mereka bibit padi gaga. Ketika benih padi diterima, sang kakek dan rumah itu menghilang seketika. Masyarakat pun melaksanakan pesan sang kakek untuk menanam bibit padi itu.
”Pesan” itu lalu dimanifestasikan dalam pola tanam para petani. Di Desa Mengesti, misalnya, petani wajib menanam varietas lokal (padi beras merah dan putih) pada musim hujan (kertamasa). Sedangkan musim kemarau (gadon/gadu) pada Juli-Agustus, petani diizinkan menanam varietas unggul IR 64 dan palawija. Pola tanam itu diperkuat awik-awik (peraturan) lewat subak masing-masing.
Konon, pernah terjadi pelanggaran tradisi bercocok tanam itu sehingga berakibat semua tanaman padi gagal panen karena diserang hama tikus dan wereng. Kalaupun tak ada gagal panen, petani juga dihadang sanksi: tak mendapat jatah air untuk sawahnya atau dibebani upacara adat di pura dengan biaya Rp 3 juta. Jatiluwih sudah mengaturnya.
0 komentar:
Posting Komentar