Kalau banyak dari kita membeli barang-barang mahal nan mewah, sebut saja tas mahal, mobil mahal, sepatu mahal, bahkan punya rumah mahal di daerah kelas atas, maka dari sejuta alasan yang akan diberikan, jika Anda menanyakan mengapa mereka membelinya, pasti saya yakin ada saja yang mengatakan bahwa semua itu akan menambah kepercayaan diri.
Saya adalah salah satu korban pemikiran semacam itu. Tanpa mengurangi rasa hormat dan syukur --karena saya sebetulnya sangat menghormati dan bersyukur-- kepada Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta langit dan bumi dan makhluk di dalamnya, saya terlahir dengan fisik sederhana dan biasa-biasa saja. Kecil, kurus, dan... hidup, itu kata teman saya.
Ganteng? Itu tak herlaku untuk saya. Waduh... dibandingkan dengan pria-pria lainnya, saya tidak masuk hitungan. Kalau dimisalkan sebuah lomba, mau masuk semifinal saja mungkin saya harus perlu katebelece. Bahkan, kalaupun ada 100 atau bahkan 500 pria terganteng, saya pun juga tak akan masuk ke dalamnya. Nomor 499 saja pun masih jauh rasanya.
Karena saya jauh dari sosok seperti Marcellino Lefrand atau Ari Wibowo, bahkan Tora Sudiro, maka dalam perjalanan hidup ini saya pernah mempunyai periode tak percaya diri. Dulu saya tak pernah memikirkan ini bakal terjadi. Dan waktu itu terjadi dan saya menyadarinya, hati ini sempat tidak menerima. Kok pendeklah, kok jeleklah, kok ini, kok itu, dan seterusnya, dan seterusnya.
Kalau fisik saya tak seberapa, keadaan finansial dan karier saya boleh dikatakan lumayan. Dengan keadaan itu, saya mulai mengenal enaknya bisa beli barang-barang mahal, mulai dari tas, kemudian sepatu, kemudian baju. Jadwal perjalanan saya melintasi benua juga menambah kepercayaan diri saya. Bayangkan saja, pria yang tadinya biasa-biasa saja, fisik yang sama sekali tidak menarik, tiba-tiba bisa terbang ke sana kemari, beli jas Armani, dan sepatu John Lobb.
Seperti narkoba
Semua itu membuat saya kemudian merasa barang-barang mahal ini adalah sarana agar saya bisa terus merasakan hadirnya percaya diri. Harus diakui keadaan itu sangat nikmat dilakoni. Saat itu saya herterima kasih di dunia ini ada barang bermerek. Barang yang ternyata membantu saya menepis, paling tidak, kesedihan saya sebagai manusia yang fisiknya dilahirkan biasa-biasa saja, bahkan tak ada geregetnya, untuk dapat sejenak merasa senang bisa membuat orang menoleh kepada saya yang tidak saya dapatkan dari keadaan lahir.
Akhirnya saya sering melarikan diri bersembunyi, dan memeluk barang-barang mahal itu sebagai senjata untuk memesona orang lain, untuk menerima hormat orang lain dan untuk dapat diakui.
Semua itu seperti narkoba. Saya seperti tak lagi bisa memercayai kemampuan saya sebagai manusia, tetapi malah menggantungkannya pada harang-barang itu. Saya tidak malah mencoba memesona orang dengan kepribadian saya, tetapi justru dengan menyodorkan barang-barang itu ke hadapan mereka. Saya menjadi senang dibicarakan orang karena barang-barang itu ketimbang saya yang punya otak sedikit encer.
Dengan waktu yang bergulir dan kematangan jiwa, kini saya berpikir bagaimana mungkin saya bisa percaya diri dengan bantuan benda-benda mati itu? Bagaimana mungkin saya mencari kepercayaan diri di balik logo-logo barang mahal itu? Bagaimana mungkin kepercayaan diri saya cuma seharga barang mahal itu?
Itu bukan kepercayaan diri yang saya dapatkan, itu cuma ego yang terpuaskan yang membuat saya malah cenderung menjadi sombong. Dan saat saya merasa punya kepercayaan diri dengan benda mati mahal itu, saat itu justru saya sedang benar-benar dalam keadaan tidak percaya diri. Itu sebuah rasa percaya diri yang semu.
Saya tak akan berhenti membeli barang-barang mahal karena sejujurnya saya tak mampu berhenti terpukau. Tetapi, kini saya tahu, saya membeli hanya untuk kesenangan ego semata, bukan membeli karena saya mencari tempat perlindungan. Sepengetahuan saya juga, butik bernama Prada, Dior, dan nama-nama lainnya hanya menjual tas, baju, dan sepatu. Di etalase mereka pun tak pernah tertulis: Di sini menjual kepercayaan diri buatan Perancis.
Tips Kalau Anda Mau Percaya Diri
1. Sadarilah sejak awal bahwa kata percaya diri itu berarti Anda yang percaya kepada diri Anda. Percaya diri tak berarti percaya pada sebuah benda, sebuah logo, atau sebuah merek, tetapi Anda titik. Jadi, kalau percaya diri yang mau ditingkatkan, yang harus naik kelas itu Anda, yang ditingkatkan itu Anda, bukan benda-benda mati, mahal nan mewah itu. Itu namanya bukan percaya diri, tetapi percaya benda mati.
2. Mau menambah percaya diri tak bisa hanya bermodalkan keadaan lahiriah semata. Apalagi kalau lahiriahnya seperti saya. Kepala Anda juga mesti diisi dengan berbagai macam pengetahuan dan informasi. Kalaupun Anda bisa nyerocos dalam tujuh bahasa—di luar bahasa daerah—tetapi apa yang Anda bicarakan hanya berkisar berlian dan membedah isi majalah People, sebaiknya Anda tak usah bangga dahulu.
3. Bergaul. Bersosialisasilah seluas-luasnya, bukan sebanyak-banyaknya. Luas itu artinya Anda bergaul di berbagai macam kalangan, tanpa punya prasangka dan batasan apa pun. Semua kalangan memiliki keunikannya sendiri. Anda akan menjadi manusia yang lebih terbuka dengan mencoba menyelami aneka rupa kalangan ini. Tak perlu banyak-banyak yang Anda kenal, nanti malah jadi arisan.
4. Jangan biasakan bersembunyi di balik orang lain untuk menjadi percaya diri. Kalau Anda memang hanya kenal adiknya Titi DJ, bilang saja, ”Oh gue kenal tuh sama Samuel.” Tak perlu mengatakan, ”Oh gue kenal sama adiknya Titi DJ.” Yang Anda kenal Samuel, adiknya Titi DJ. Anda tak kenal Titi DJ, bukan? Jadi jangan membuat orang berasumsi Anda kenal dengan Titi DJ seolah-olah pergaulan Anda begitu hebatnya.
Atau suatu hari teman Anda mengajak pergi dan kebetulan dia mengenal Dian Sastro dan mengajaknya pergi bersama. Ketika ditanya apa yang Anda lakukan kemarin, Anda bilang saja pergi ke Ancol. Tak perlu mengatakan, ”Kemarin gue sama Dian Sastro ke Ancol.” Yang kenal Dian dan mengajaknya pergi itu teman Anda dan bukan Anda. Oke?
5. Biasakan menjadi pribadi yang sederhana, rendah hati, dan tak perlu petantang-petenteng. Percaya diri itu bukan artinya Anda membeberkan kehebatan pribadi Anda. Ingat akan pepatah yang mengatakan, padi yang makin berisi itu makin merunduk.*
Saya adalah salah satu korban pemikiran semacam itu. Tanpa mengurangi rasa hormat dan syukur --karena saya sebetulnya sangat menghormati dan bersyukur-- kepada Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta langit dan bumi dan makhluk di dalamnya, saya terlahir dengan fisik sederhana dan biasa-biasa saja. Kecil, kurus, dan... hidup, itu kata teman saya.
Ganteng? Itu tak herlaku untuk saya. Waduh... dibandingkan dengan pria-pria lainnya, saya tidak masuk hitungan. Kalau dimisalkan sebuah lomba, mau masuk semifinal saja mungkin saya harus perlu katebelece. Bahkan, kalaupun ada 100 atau bahkan 500 pria terganteng, saya pun juga tak akan masuk ke dalamnya. Nomor 499 saja pun masih jauh rasanya.
Karena saya jauh dari sosok seperti Marcellino Lefrand atau Ari Wibowo, bahkan Tora Sudiro, maka dalam perjalanan hidup ini saya pernah mempunyai periode tak percaya diri. Dulu saya tak pernah memikirkan ini bakal terjadi. Dan waktu itu terjadi dan saya menyadarinya, hati ini sempat tidak menerima. Kok pendeklah, kok jeleklah, kok ini, kok itu, dan seterusnya, dan seterusnya.
Kalau fisik saya tak seberapa, keadaan finansial dan karier saya boleh dikatakan lumayan. Dengan keadaan itu, saya mulai mengenal enaknya bisa beli barang-barang mahal, mulai dari tas, kemudian sepatu, kemudian baju. Jadwal perjalanan saya melintasi benua juga menambah kepercayaan diri saya. Bayangkan saja, pria yang tadinya biasa-biasa saja, fisik yang sama sekali tidak menarik, tiba-tiba bisa terbang ke sana kemari, beli jas Armani, dan sepatu John Lobb.
Seperti narkoba
Semua itu membuat saya kemudian merasa barang-barang mahal ini adalah sarana agar saya bisa terus merasakan hadirnya percaya diri. Harus diakui keadaan itu sangat nikmat dilakoni. Saat itu saya herterima kasih di dunia ini ada barang bermerek. Barang yang ternyata membantu saya menepis, paling tidak, kesedihan saya sebagai manusia yang fisiknya dilahirkan biasa-biasa saja, bahkan tak ada geregetnya, untuk dapat sejenak merasa senang bisa membuat orang menoleh kepada saya yang tidak saya dapatkan dari keadaan lahir.
Akhirnya saya sering melarikan diri bersembunyi, dan memeluk barang-barang mahal itu sebagai senjata untuk memesona orang lain, untuk menerima hormat orang lain dan untuk dapat diakui.
Semua itu seperti narkoba. Saya seperti tak lagi bisa memercayai kemampuan saya sebagai manusia, tetapi malah menggantungkannya pada harang-barang itu. Saya tidak malah mencoba memesona orang dengan kepribadian saya, tetapi justru dengan menyodorkan barang-barang itu ke hadapan mereka. Saya menjadi senang dibicarakan orang karena barang-barang itu ketimbang saya yang punya otak sedikit encer.
Dengan waktu yang bergulir dan kematangan jiwa, kini saya berpikir bagaimana mungkin saya bisa percaya diri dengan bantuan benda-benda mati itu? Bagaimana mungkin saya mencari kepercayaan diri di balik logo-logo barang mahal itu? Bagaimana mungkin kepercayaan diri saya cuma seharga barang mahal itu?
Itu bukan kepercayaan diri yang saya dapatkan, itu cuma ego yang terpuaskan yang membuat saya malah cenderung menjadi sombong. Dan saat saya merasa punya kepercayaan diri dengan benda mati mahal itu, saat itu justru saya sedang benar-benar dalam keadaan tidak percaya diri. Itu sebuah rasa percaya diri yang semu.
Saya tak akan berhenti membeli barang-barang mahal karena sejujurnya saya tak mampu berhenti terpukau. Tetapi, kini saya tahu, saya membeli hanya untuk kesenangan ego semata, bukan membeli karena saya mencari tempat perlindungan. Sepengetahuan saya juga, butik bernama Prada, Dior, dan nama-nama lainnya hanya menjual tas, baju, dan sepatu. Di etalase mereka pun tak pernah tertulis: Di sini menjual kepercayaan diri buatan Perancis.
Tips Kalau Anda Mau Percaya Diri
1. Sadarilah sejak awal bahwa kata percaya diri itu berarti Anda yang percaya kepada diri Anda. Percaya diri tak berarti percaya pada sebuah benda, sebuah logo, atau sebuah merek, tetapi Anda titik. Jadi, kalau percaya diri yang mau ditingkatkan, yang harus naik kelas itu Anda, yang ditingkatkan itu Anda, bukan benda-benda mati, mahal nan mewah itu. Itu namanya bukan percaya diri, tetapi percaya benda mati.
2. Mau menambah percaya diri tak bisa hanya bermodalkan keadaan lahiriah semata. Apalagi kalau lahiriahnya seperti saya. Kepala Anda juga mesti diisi dengan berbagai macam pengetahuan dan informasi. Kalaupun Anda bisa nyerocos dalam tujuh bahasa—di luar bahasa daerah—tetapi apa yang Anda bicarakan hanya berkisar berlian dan membedah isi majalah People, sebaiknya Anda tak usah bangga dahulu.
3. Bergaul. Bersosialisasilah seluas-luasnya, bukan sebanyak-banyaknya. Luas itu artinya Anda bergaul di berbagai macam kalangan, tanpa punya prasangka dan batasan apa pun. Semua kalangan memiliki keunikannya sendiri. Anda akan menjadi manusia yang lebih terbuka dengan mencoba menyelami aneka rupa kalangan ini. Tak perlu banyak-banyak yang Anda kenal, nanti malah jadi arisan.
4. Jangan biasakan bersembunyi di balik orang lain untuk menjadi percaya diri. Kalau Anda memang hanya kenal adiknya Titi DJ, bilang saja, ”Oh gue kenal tuh sama Samuel.” Tak perlu mengatakan, ”Oh gue kenal sama adiknya Titi DJ.” Yang Anda kenal Samuel, adiknya Titi DJ. Anda tak kenal Titi DJ, bukan? Jadi jangan membuat orang berasumsi Anda kenal dengan Titi DJ seolah-olah pergaulan Anda begitu hebatnya.
Atau suatu hari teman Anda mengajak pergi dan kebetulan dia mengenal Dian Sastro dan mengajaknya pergi bersama. Ketika ditanya apa yang Anda lakukan kemarin, Anda bilang saja pergi ke Ancol. Tak perlu mengatakan, ”Kemarin gue sama Dian Sastro ke Ancol.” Yang kenal Dian dan mengajaknya pergi itu teman Anda dan bukan Anda. Oke?
5. Biasakan menjadi pribadi yang sederhana, rendah hati, dan tak perlu petantang-petenteng. Percaya diri itu bukan artinya Anda membeberkan kehebatan pribadi Anda. Ingat akan pepatah yang mengatakan, padi yang makin berisi itu makin merunduk.*
0 komentar:
Posting Komentar