Tinggalkan sejenak semua hiruk-pikuk dan kemacetan kota besar. Manjakan indera lewat buaian angin, kicauan burung, dan lembutnya rerumputan. Saatnya menikmati heningnya hutan.
Di pintu masuknya saja, mata kita sudah dimanjakan. Hamparan rumput hijau menjadi latar depan Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang pagi itu berwarna kebiruan tanpa saputan kabut. Hangat matahari sudah lebih dulu menghapus genangan di jalan setapak yang semalam diguyur hujan.
Melewati pos pertama Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), bau hutan sudah tercium. Jalan tanah yang landai tertutup humus dan dipagari pohon-pohon tinggi yang menjulang. Kebetulan, siang itu para petugas TNGGP sibuk mencabuti tanaman jalar markisa hutan (konyal) yang tumbuh subur di ketinggian sekitar 1.500 meter dpl.
”Kami harus mencabut sampai ke akar-akarnya, tersisa sedikit saja langsung tumbuh dengan cepat. Markisa hutan ini bukan tanaman benalu, tapi dia bisa mendominasi tanaman primer,” kata Ade Bagja dari bagian Ekosistem Hutan TNGGP.
Taman nasional yang diselimuti hutan hujan tropis ini memiliki harta karun luar biasa. Ada sekitar 1.500 spesies tumbuhan di situ, juga 400 spesies paku-pakuan, 120 spesies lumut, dan sekitar 300 spesies tanaman obat. Tak sulit untuk menemukan pohon rasamala yang menjulang tinggi, kecubung yang sedang berkembang, ataupun buah rotan di sepanjang perjalanan.
Jalan setapak tanah berbatu yang landai membuat area Cibodas ini cocok menjadi tempat wisata keluarga untuk berkenalan langsung dengan hutan yang masih asli sekaligus menikmati karunia alam berupa telaga, air terjun, dan sumber serta aliran air panas. Telaga yang berada di ketinggian 1.575 meter dpl itu permukaannya kerap berubah warna bila tertimpa sinar matahari. Kadang berwarna hijau, kadang berubah menjadi kebiruan.
Telaga ini bisa menjadi tempat nyaman untuk mengusir lelah, tapi jika sedikit bersabar, tak jauh dari sini terdapat air terjun Cibeureum yang tingginya sekitar 50 meter. Belum lengkap kunjungan ke Cibodas dan sekitarnya sebelum menengok karunia alam yang indah ini. TNGGP pun memberi perhatian ekstra untuk jalur Cibodas-Telaga Biru-Cibeureum, antara lain dengan menyediakan jembatan kayu setinggi dua meter yang panjangnya beberapa ratus meter. Maksudnya memang untuk memudahkan wisatawan agar tidak melewati jalur becek dan licin di bawahnya. Namun, pemeliharaan yang minim membuat jalanan ini malah berbahaya karena banyak bagian yang sudah lapuk, bahkan menganga di sana-sini.
Pendakian
Cibeureum biasanya menjadi titik start bagi mereka yang melanjutkan pendakian ke Gunung Gede atau Pangrango, dan menjadi batas akhir bagi mereka yang sekadar ingin trekking bersama keluarga. Setelah pos Cibeureum (Panyangcangan), jalan setapak tak lagi landai. Tanjakan menanti di depan mata, semakin lama semakin terjal dan curam. Hutannya pun masih rapat. Sejumlah tanaman khas seperti kayu penaga (Schima wallichii)dan jamuju (Dacrycarpus imbricatus) bisa ditemui di sini. Burung-burung kecil hitam nan cerewet terus berkicau dengan suaranya yang khas ”crap… crap…crap…”. Kadang mereka hinggap sejenak di tengah jalan, menari genit lalu melesat kembali ke balik pepohonan.
Kandang Badak (sekitar 2.400 mdpl), pos terakhir sebelum mencapai puncak, nyaman untuk beristirahat dan bisa dijadikan tempat berkemah karena dikelilingi tanah datar yang cukup luas. Sebagian orang memilih opsi ini. Mereka berangkat ke puncak gunung pada dini hari keesokan harinya dan kemudian menunggu matahari terbit di bibir kawah. Pilihan lainnya adalah lanjut terus ke puncak dan kemudian turun menuju Alun-alun Suryakencana yang juga ”ladang” bunga edelweiss.
Apa pun pilihannya, medan yang dilalui tak mudah. Selepas Kandang Badak tanjakan semakin terjal. Kaki yang lelah berkali-kali harus kerja ekstra untuk melompati pohon yang tumbang melintang ataupun memanjat batu-batu besar yang bertumpuk alami. Warga setempat menyebutnya sebagai ”tanjakan rante”, mungkin karena bentuknya yang meliuk-liuk ke atas tanpa ujung. Jarak dari Kandang Badak ke puncak Gede/kawah tak lebih dari 500 meter, namun dibutuhkan waktu sekitar 1-2 jam untuk mencapainya.
Menjelang puncak, tak terlihat lagi pohon-pohon tinggi. Di sana-sini menyeruak rumput liar, tanaman perdu, dan lumut-lumutan. Matahari nyaris tenggelam ketika langkah menyusuri bibir kawah. Kabut telah lama turun. Kedalaman keempat kawah semiaktif itu—Kawah Lanang, Kawah Ratu, Kawah Wadon, dan Kawah Baru—tak lagi terlihat. Angin yang menderu dan udara dingin terus menemani perjalanan turun dari puncak sampai menjejak Alun-alun Suryakencana. Di bawah taburan bintang, tenda pun didirikan. Kami menyeruput cokelat panas dan menengadah ke langit. Bulan bulat penuh. Purnama yang sempurna.
Rute Gunung Putri
Adakah yang bisa menandingi kenikmatan pagi ketika hangat matahari menerpa wajah dan semerbak wangi edelweiss menyelusup, memenuhi indera penciuman? Inilah bonus indah jika bermalam di Alun-alun Suryakencana.
Bonus itu masih bertambah dengan perjalanan yang sulit dilupakan, menyusuri padang edelweiss sampai ke ujung alun- alun. Ini merupakan rute paling ringkas untuk turun gunung, yaitu melalui jalur Gunung Putri. Namun, sebaliknya, tak ada jalan landai di sini. Dari ujung Suryakencana sampai ke pos terakhir di ujung desa yang ada adalah turunan curam yang membuat lutut dan betis meregang. Soal keindahan, jalur Cibodas-Kawah memang lebih indah karena perpindahan tipikal flora sangat terasa. Apalagi, rute Cibodas-puncak Gunung Gede memiliki ikon seperti telaga, air terjun, air panas, dan tentu saja kawah.
Meski demikian, ingatan ”manis” tentang rute Gunung Putri tetap terasa ketika kaki menjejak batas desa yang dipenuhi kebun kol, bawang, dan wortel. Gemericik air sungai dan keindahan panorama berlatar jejeran gunung di kejauhan melipat seluruh kelelahan di jam-jam sebelumnya. Melewati pos terakhir, bunyi knalpot angkutan umum yang bising segera menyadarkan, liburan telah berakhir.
0 komentar:
Posting Komentar